"Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima." (Digha Nikaya 25 : Patika Vagga ; Udumbarika - Sīhanāda Sutta)



02 November 2013


-->
“Say No to Free Sex”

Pendahuluan
Perbuatan sex diluar nikah (free sex), selamanya tidak dibenarkan dalam norma kehidupan, baik norma agama maupun norma sosial. Walau kenyataannya kasus hubungan sex pra nikah semakin meluas. Bahkan dari sekian banyak kasus, menurut banyak survey yang diekpos dimedia-media, yang ada free sex kebanyakan dilakukan oleh kalangan remaja (sedikiti presentasenya dikalangan orang tua). Apakah memang kondisi sudah membudaya dikalangan teman-teman kita sendiri. Hal ini merupakan bukti nyata dampak dari tingginya keinginan sex dikalangan remaja kita. Tingginya keinginan sex ini, merupakan dampak dari berkembang cepatnya hormon dan oragan genetalia atau reproduksi. Oleh karena itu kita harus bisa mengendalikan keinginan sex itu sendiri. Soalnya, hubungan sex dilakukan diusia dini dan diluar nikah banyak merugikan kehidupan pribadi kita semua (terutama kaum perempuan). Kalau anda menginginkan masa depan anda baik maka hindari tindakan salah tersebut.
Menurut sila ketiga dari pancasila buddhis yaitu “Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami” yang berarti kami bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila/hubungan yang salah. Kamesumicchacara terdiri dari tiga kosakata kama, miccha, dan cara. Kata miccha berarti salah atau menyimpang, dan cara berarti pelaksanaan atau perilaku. Sedangkan kamesu merupakan bentuk jamak dari kata kama/ nafsu pada kasus ketujuh menurut tata bahasa pali.
Kama berarti nafsu atau keinginan indriawi. Ada lima kesenangan indria, yaitu: kesenangan indria mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit (permukaan jasmaniah yang mmerasakan sentuhan). Jadi kamesumicchacara berarti pemuasan nafsu indriawi-nafsu indriawi yang salah atau yang menyimpang (dari yang dibenarkan). Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui kulit melalui sentuhan dalam konteks kamesumicchacara diartikan sebagai hubungan kelamin. Oleh karena itu pemuasan kulit melalui sentuhan secara salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan akan menganggu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesumicchara ditekankan dan diartikan dengan melakukan hubungan kelamin yang salah.
Ada beberapa macam wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (Agamaniavatthu), sebagai berikut :
1. Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Dalam perlindungan ibu dan ayahnya (matapiturakkhita)
4. Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. Dalam perlindungan pelaksana dhamma (dhammarakkhita)
9. Yang sudah dipinang oleh Raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda)
10. Yang sudah bertunangan (sarakheta)
11. Yang sudah dibeli oleh laki-laki atau telah digadaikan oleh orang tuanya (Dhanakheta)
12. Yang tinggal bersama lelaki yang dicintainya (chadavasini)
13. Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (bhogavasini)
14. Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan sandang (patavasini)
15. Resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (odapattagini)
16. Yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (abhatasumbatta)
17. Tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajabata)
18. Pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya)
19. Budak yang dikawini oleh majikannya (dasibhariya)
20. Yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika)
Dari rincian diatas, kelihatan bahwa 12 terakhir yang mulai dari saparidanta (9) hingga muhuttika (20) adalah wanita yang mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi perkawinan mereka. Seseorang yang telah menyetubhi salah satu dari 20 jenis wanita tersebut diatas berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar sila ketiga. Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringanya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaanya (misal: suatu perkosaan), serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan, misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mancapai tingkat kesucian. Pemuda Nanda, yang memperkosa seorang bhikkhuni yang bernama Uppalavanna Their, yang telah mencapai tingkat Arahat, lahir dialam Neraka Avici.
Lihat dan renungkan akibatnya
Hubungan sex diluar nikah membawa dampak yang negatif pada diri kita. Mulai dari kemungkinan tertular penyakit, hingga kehamilan diluar nikah. Maraknya free sex saat ini ternyata berdampak pula pada tingginya tingkat aborsi. Padahal perbuatan aborsi, juga memiliki beresiko tinggi terhadap keselamatan dari perempuan itu sendiri. Mungkin kita semua sudah pada tau semua kondisi itu. Berapa banyak berita yang kita liahat dan baca, ada yang melakukan aborsi hingga akhirnya terpaksa harus merelakan nyawanya. Atau membuang bayi yang telah dikandungnya karena terpaksa melahirkannya. Free sex merusak moral bangsa, kalimat itu sudah sering diungkapkan oleh banyak kalangan, tetapi perbuatan itu masih aja dilakukan oleh mereka sendiri. Walaupun Say No to Free sex sudah ditulis diposter-poster tetapi hal itu juga bisa menghentikan pelaku sex bebas. Bahkan tulisan itu bisa mendominasi perayaan Aids diseluruh dunia tanggal 1 Desember. Perayaan tahunan mengingatkan kita akan bahaya Human Immunodeficiency Virus (HIV). Suatu virus yang menyerah sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan /daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi/penyakit. Kalo sudah parah, maka tubuh si penderita akan menjadi sarang berbagai penyakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi inilah yang disebut Aids alias Acquired Immunodeficiency Syndrome.
Wajib dihentikan

Pasti. Penyebaran HIV memang harus dihentikan. Banyak cara dilakukan orang-orang yang peduli untuk menghentikan laju wabah HIV. Seperti kampanye safe sex yang pernah dipopulerkan mendiang Harry Roesli melalui iklan layanan masyarakat. “Kenakan kondom atau kena!”. Ketika budaya seks bebas sulit dikendalikan, penggunaan kondom dijadikan andalan. Sehingga karet pengaman ini dengan mudah diperoleh di warung-warung. Malah ada penemuan yang menghadirkan mesin penyedia karet KB ini layaknya sebuah ATM yang ditempatkan di mal atau pusat perbelanjaan. Tapi benarkah alat pengaman ini bener-bener aman?
Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar. Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebarnya pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus pori-pori kondom.
Makanya kampanye safe sex with condom nggak akan pernah bisa menahan laju penyebaran HIV. Malah mungkin makin mempercepat. Soalnya para pelaku seks bebas merasa aman sehingga berani gonta-ganti pasangan (padahal mah boro-boro aman. sudah kena HIV, kamma lagi.
Ada beberapa faktor yang mengklaim bahwa perbuatan asusila itu tidak dibenarkan, yaitu:
1. Hubungan yang salah itu ditabookan

Bila seseorang mengecam hubungan yang salah dengan alasan bahwa perbuatan itu taboo, maka ia juga seharusnya mengecam hubungan yang bebas dengan alasan yang sama karena keduanya sama-sama dikuasai nafsu.

2. Hubungan bebas menyalahi aturan/sila


Pada awal terbentuknya dunia ini (baca
Aganna sutta), makhluk tak memiliki kelamin. Kemudian perlahan-lahan tubuh mereka menjadi lebih padat (karena makan makanan yang berzat padat). Perbedaan kelamin menjadi lebih menonjol, dan pada saat itulah terdapat beberapa orang yang mulai berhubungan seks. Mereka dicaci dan dikucilkan karena pada saat itu hubungan seks dianggap sungguh menjijikan. Pada zaman sekarang, orang yang menjauhi hubungan sekslah yang dianggap tak normal. Dan kayaknya cacian dan pengucilan terhadap pelaku sex bebas terulang kembali seperti dulu.

3. Kaum wanita diciptakan untuk kaum pria

Tentunya dalam agama Buddha tak dikenal istilah,
Kaum wanita diciptakan untuk kaum pria, Kita bertumimbal lahir dikarenakan kekeliruan kita tentang ketiga kenyataan mutlak ini, yakni ketidakpuasan, ketidakkekalan, dan tanpa aku. Selagi kekeliruan ini masih ada di diri kita, kita tak akan bebas dari kelahiran kembali. Dengan sendirinya kekeliruan inilah penyebab penyakit, usia tua, dan kematian (penderitaan yang berkepanjangan) . Dan untuk menghapus kekeliruan ini, seseorang harus melenyapkan dulu keserakahan (nafsu) dan kebencian.

4. Agama Buddha menganjurkan pernikahan heteroseksual


Hubungan seks bebas adalah berakar pada keserakahan. Dengan sendirinya, agama Buddha tak dapat menganjurkannya. Buddha dengan tegas melarang hubungan seks kepada para Bhikkhu karena Beliau mengetahui bahwa hubungan seks akan pasti mengagalkan usaha seseorang menuju ke kesucian. Bagi mereka yang masih terikat pada kehidupan duniawi, Buddha memberikan petunjuk hidup berkeluarga yang baik (baca Sigalovada sutta). Tapi hal ini tak boleh diartikan bahwa Buddha menganjurkan pernikahan. Manusia sudah hidup berkeluarga sebelum Buddha muncul di dunia ini. Dan karena Buddha menyadari bahwa tak semua umat berkeluarga dapat (hendak) melaksanakan hidup suci, maka kehidupan berkeluarga tak dilarang Beliau (tetapi tak dianjurkan juga).

Jadi apakah agama Buddha memperbolehkan hubungan sex bebas? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus memganalisa dulu sila ketiga dari Pancasila Buddhis.

Sila Ketiga dari Pancasila


Sebenarnya tujuan sila adalah untuk melatih diri. Jadi sila melatih perbuatan kita (sebagai landasan) sehingga pikiran kita nantinya akan lebih mudah terlatih (bhavana). Bila suatu perbuatan mendatangkan keresahan dan kekhawatiran, maka seharusnya kita hindari.

Hubungan seks yang salah adalah hubungan seks yang dilakukan dengan seseorang yang telah berpasangan ( telah memiliki pacar, tunangan, suami/isteri) atau dilindungi ayah, ibu, saudara, saudari, famili (relative), atau dhamma (ajaran agamanya, norma wilayah setempat, dll). Bila seseorang berada di wilayah yang tak melarangnya, maka hubungan tersebut tak termasuk seks yang salah asalkan semua faktor di atas terpenuhi.

Free sex

Free sex (definisi: hubungan seks yang bebas
mau sama mau, tak peduli dia itu tunangan kita atau bukan) juga seharusnya dihindari karena itu melanggar norma masyarakat, terutama norma masyarakat Asia. Sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap tak pantas. Baik dari segi kesehatan, psychology (mental health), dan hubungan sosial, free sex telah membawa banyak kerugian.

Premarital sex

Premarital sex (definisi: berhubungan seks dengan pacar/tunangan kita) memang sudah diperbolehkan di sebagian besar negara Barat. Akan tetapi di Asia, hal ini belum dapat diterima, sehingga premarital sex juga seharusnya dihindari oleh kita (orang Asia). Ini adalah untuk mencegah keresahan diri yang akan timbul kelak.
Kesimpulan

Sebagai Buddhis, kita dianjurkan untuk berusaha mengurangi nafsu dan kebencian di diri kita. Jadi sudah selayaknyalah pelaku sex bebas bisa memahami dirinya sendiri dan beralih kejalan yang benar. Agama Buddha tak mengajarkan hal lain selain jalan menuju ke lenyapnya penderitaan. Jadi kurang pantaslah bila seseorang mengatakan bahwa agama Buddha memperbolehkan hubungan seks bebas, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Kepada kita yang kurang bijaksana, Buddha telah menunjukan kategori seks yang akan membawa penderitaan yang besar. Dan kepada mereka yang bijaksana Buddha menunjukan bahayanya segala hal yang berhubungan dengan seks. Kemudian Beliau dengan tabah membimbing mereka yang bijaksana setahap demi setahap sehingga mereka akan mampu melenyapkan dengan tuntas penderitaan hidup ini. Walau kelihatannya Buddha mengajarkan dua hal yang berbeda, akan tetapi sebenarnya Buddha menyadari bahwa tak semua orang bersedia menjalani kehidupan suci (jadi mereka tak diajarkan hidup suci). Ini juga adalah salah satu kebijaksanaan Beliau dalam membimbing umat manusia dan para dewa. Dalam Buddhadhamma, tidak ada pelarangan atau perijinan terhadap Homoseksual (gay/lesbian), Polygami (satu suami banyak istri), Polyandri (satu istri banyak suami) ataupun terhadap monogami (satu suami satu istri). Semua bentuk di atas merupakan tindakan yang didasari oleh nafsu birahi (raga) yang, menurut Buddha, memberi sedikit kebahagiaan tetapi menemui banyak penderitaan. Buddha memberi nasihat untuk tidak mengumbar pada kesenangan terhadap nafsu birahi tersebut; paling tidak dengan mengetahui batas-batas kewajaran (kesusilaan) dalam melakukannya.



0 komentar:

Posting Komentar