"Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima." (Digha Nikaya 25 : Patika Vagga ; Udumbarika - Sīhanāda Sutta)



26 November 2010



Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sammbuddhasa
MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM

ORANG TUA ADALAH BUDDHA HIDUP KITA
  Setiap makhluk yang terlahir didunia ini tentu semua berawal dari adanya orang tua, baik itu binatang ataupun manusia. Dalam kehidupan ini sebelum seseorang menjadi ayah & ibu dari anak – anaknya, tentu sebelumnya terlebih dahulu telah menjadi anak dari orang tuanya, kita ada ada didunia ini tentu karena adanya mama papa kita, tidak mungkin kita ada tanpa adanya mama & papa kita…???
Taukan anda, betapa besarnya jasa orang tua terhadap diri kita…??? Mungkin sebagian orang tidak mengetahui serta memahaminya, bahwa orang tua telah banyak berjasa dan berkorban demi kehidupan kita, demi masa depan kita serta demi kebahagian kita.
Apa bila mengingat kembali waktu semasa kita masih di bangku TK/ SD ada sebuah lagu yang sangat mengaharukan yg mungkin dapat kita jadikan sebuah renungan kembali sungguh betapa besarnya kasih sayang orang tua kita “kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa hanya memberi tak akan kembali bagai sang surya menyinari dunia” Jika diperumpamakan “Kasih sayang Ibu itu sepanjang masa yang tak akan pernah pudar oleh sang waktu tetapi kasihsayang anak hanyalah sebatas sepanjang pohon kelapa” tetapi pada zaman sekarang seorang anak banyak yg berpikir dan beranggapan kalau kasih sayang orang tua yg diberikan dianggapnya sebagai suatu ancaman, larangan, tekanan, dan penderitaan. Tidak heran anak – anak masa sekarang mengartikan nasihat itu sebagai hal yang menakutkan…..
Banyak sekali anak pada zaman sekarang mengatakan
“Mama Papaku itu enggak gaul, enggak modren”
“Mama Papaku itu terlalu kolot, terlalu kaku”
“Mama Papaku itu enggak sayang dan enggak mau ngertiin aku”
Inilah yg terjadi pada umumnya dikalangan remaja sekarang, mereka menggapnya seperti itu, tetapi kalau kita melihat dan merenungkan kembali. Sebelum sampai saat ini bagaimana proses pertumbuhan kita. “Ketika kita masih didalam kandungan, selama 9 - 10 bulan mama tidak pernah mengeluh dalam mengandung kita, Mama Papa selalu menjaga kondisi kandungan dengan baik, baik dari pola makan, kesehatan dan sampai aktifitaspun mereka kurangi, walaupun perut mama besar dan berat mama tetap sabar…..setelah 9 - 10 bulan mengandung kita dan ketika waktu melahirkan, mama menderita dan menahan kesakitan serta nyawa mamapun dipertaruhkan saat itu juga…mulai sejak kita dilahirkan pada masa – masa balita “Mama Papa” kita jadikan pembantu kita jadikan pelayan setiap saat. Dan kitanya yg menjadi majikan - menjadi Bossssnya…. ketika lapar, ketika popok basah, ketika kedinginan, ketika sakit dan ketika kita merasa bahaya, hanya dg sebuah alunan melodi tangisan saja yg bisa kita lakukan, walaupun alunan melodi tangisan akhirnya meramaikan seisi rumah, tidak peduli itu siang ataupun tengah malam. Mama Papa tetap selalu ada dan selalu siap setiap saat untuk menemani, melindungi serta yg memenuhi semua keinginan kita...bahkan mama kita terkadang rela memakan makanan yang tidak enak demi kita, makanan yg enak diberikan kepada kita sedangkan makanan yg tidak enak dimakannya…..ketika sudah beranjak dewasa mama selalu mengajari dalam berbagai hal untuk kita…sampai kita bisa melihat sendiri seperti apa kita sekarang ini”
Melihat apa yg sudah diberikan orang tua terhadap diri kita, apakah pantas kita berlaku dan bersikap tidak baik kepada mereka???
(Khuddaka Nikaya, 286) “Dalam sabbda Sang Buddha, orangtua sering disamakan dengan Buddha dan Brahma yang tinggal dalam rumah. Buddha pertama dan guru pertama dalam hidup kita” sebelum kita mengerti apa – apa orang tua kitalah yg mengajarkan dan yang memberi penceraha diri kita. Karena jasa orang tua yang sangat begitu besar itu “Sang Buddha juga memeberikan sebuah perumpamaan “Dalam Anguttara Nikaya Bab IV ayat 2 “Meskipun seorang anak menggendong ayahnya dipundak kiri dan ibunya di pundak kanan selama seratus tahun, itupun belum cukup untuk membalas jasa kebaikan yang orangtua berikan.”
Jadi pengertian orang tua dalam ajaran Buddha mempunyai keagungan yang sangat tinggi, orang tua digambarkan sebagai sesosok Buddha dan Brahma didalam hidup kita. Kita tau bawasannya Bhrama merupakan makhluk yang tingkatannya lebih tinggi diatas dewa, untuk itu apakah kita pantas dan bersikap tidak baik kepada mereka???
Walaupun sebesar apapun yang kita berikan dan sebanyak apapun yang dierikan kepada mereka itu belum cukup untuk membalas jasa baik kedua orang tua.
Rasa “ Katannukatavedi” tau berterima kasih dan bakti kepada mereka adalah salah satu cara yang terbaik dan yang paling baik serta salah satu kewajiban yang harus berikan seorang anak kepada orang tuanya. Menghormati, menyayangi mereka adalah wujud yang memang perlu kita berikan setiap waktu dan setiap saat. Janganlah kita melihat kesalahan apa yg telah mereka lakukan, kesalahan yg telah dilakukan itu merupakan sebagian kecil dari rasa sayangnya kepada anaknya. Tetapi apakah kita pernah menyadari bahwa kita sendiri juga sering membuat kecewa, sering membuat sakit hati (ciak sam kwua) dan sering membuat kesalah kepada mereka...??? Jika dibandingkan, kesalahan kitalah yang paling banyak. Akan tetapai orang tua tetap selalu memberikan maaf dan memberikan kesempatan untuk kita.
Sebagai anak yang baik dan sebagai anak yang sudah mempunyai pengertian didalam ajaran Buddha hendaknya selalu berusaha sadar diri, mawas diri bagaimana yang memang perlu kita lakukan terhadapnya dan mana yg tidak perlu kita lakukan. Semua orang tua yang ada didunia ini tidak hanya manusia atau binatang, mereka juga berharap dan mengharapkakn sebuah kebahagian untuknya dan kebahagian untuk anak – anaknya. Tidak ada satupun didunia ini orang tua mengharapkan anaknya celaka, anaknya menderita didalam hidupnya “Tidak mungkin induk harimau mau memakan anaknya sendiri” terkadang kita juga perlu banyak belajar dari binatang walaupun binatang merupakan salah satu makhluk yg labih jauh baik dari kita “rasa sayang dan cinta kasihnya, hubungan batinnya”
Janganlah dengan apa yg sudah kita miliki, apa yang telah kita punyai sekarang ini (harta dan kekuasaan) lantas kita bersikap tidak baik kepada mereka, bersikap tidak pantas kepada mereka. Kurang memperhatian kurang sayang dan lupa terhadapnya. Terlebih – lebih janganlah orang tua kita masukan ke panti jompo lantaran dendam akan semua perlakuan yg salah terhadap kita. Janganlah berdalih dan beralasan karena kesibukan pekerjaan dll, coba berikanlah waktu untuk mereka, karena dengan cara inilah setidaknya kita membalas jasa budi baik orang tua.
Ketika orang tua kita sudah memasuki usia senja pasti nanti akan ada perubahan dan perubahan itu terkada bisa dikatakan menjengkelkan (dalam masa itu orang tua sudah mulai seperti kekanak – kanakan yg mintanya diperhatiin dan disayangi) apabila itu nanti terjadi coba hadapilah dengan penuh kasih sayang , seperti ketika mama papa menghadapi masa kecil dan masa kekanak – kanakan kita dulu)
Sang Buddha sendiri walaupun sudah menjadi Samma Sambuddhasa, guru agung para dewa dan manusia, pengenal segenap alam dan yang mahatau dan maha bijaksana. Beliau tidak lupa kepada kedua orang tuanya sendiri yang telah melahirkan, yang telah mendidik, yang telah membesarkan dan yang telah menyayanginya…salah satu wujud yg telah beliau berikan adalah memberikan pengertian & pemahaman tentang ajaran dhamma kepada ayahandanya Raja Suddhodana serta memberikan ajaran dhamma (yaitu tentang Abhidhamma) kepada ibundanya Ratu Mahamaya dialalam Surga Tavatimsa.
Didalam hukum sebab – akibat (hukum karma) membunuh, melukai, menyakiti dan membuat penderitaan bagi orang tua baik itu secara jasmani atau batin adalah salah satu bagian “Garuka Kamma” kamma buruk kamma berat dan akibatnya nanti akan membuat penderitaan yang sangat berat dikehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang, jauh lebih menderita yg telah kita lakukan terhadap mereka.
Sabbe satta bhavantu sukkhitata....
By Aggacitto Bhikkhu

04 November 2010

PENDAHULUAN

Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.

Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.

Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.

Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita.

REFERENSI SUTTA


Majjhima Nikaya 55

Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging.

Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”; dan bertanya apakah hal ini memang benar.

Sang Buddha menyangkal hal ini, menambahkan “
Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”

Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan:
“Jika seseorang menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal … (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ ... (ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat … (iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ … (iv) Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih … (v) Ketika dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak diijinkan …. ”

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan1 dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan dengan makan daging.


Anguttara Nikaya 8.12

Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha.

Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya
untuk samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingannya.’

Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ … Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha … Dhamma… Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.

Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.


Anguttara Nikaya 5.44

Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh Sang Buddha.

Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan daging.

REFERENSI VINAYA


Patimokkha: Pacittiya 39

Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak makan, madu, gula, ikan, daging … Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.


Buku Kedisiplinan: Buku Keempat2

Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu:
manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.


Buku Kedisiplinan : Buku Keempat3

Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.


Buku Kedisiplinan : Buku Pertama4

Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau … sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh umat memasaknya dan memakannya.

Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.


Buku Kedisiplinan : Buku Kedua5

Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha.

Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.


Buku Kedisiplinan : Buku Kelima6

Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging.

Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).”

Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong.

BERBAGAI ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING

Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali dia (i) diundang untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii) makanan itu dimasak di Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah salah satu dari dasar/landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.

Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita bias melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis makanan setiap hari.

Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis - - yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.


Argumentasi Permintaan dan Penyediaan

Beberapa orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya, seseorang pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.

Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat : (i) sebab dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya. Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh. Makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.

Argumentasi permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia9 dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari - - yang lebih buruk daripada makan daging!

Memang benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Kita akan mendiskusikannya di bawah.


Vegetarianisme juga Mendorong Pembunuhan

Kita mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya, kangguru dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen.

Banyak barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera yang tidak terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih10 dari serangga lak yang tidak terhitung jumlahnya.

Kosmetik mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan, seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju menggunakan dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.

Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan ini. Film fotografis menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan tulang dari binatang.

Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering yang digiling, dan sisa potongan ikan lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.

Semua ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau yang lain dalam kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang.

Jadi seandainya seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di atas dan menghindari kritik yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.

Binatang Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian Walaupun semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena binatang berkembang biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan mudah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.

Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah binatang yang dilindungi. Akan tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak dengan cepat dan menjadi ancaman, dan hukum perlindungan harus dilonggarkan untuk mengurangi jumlah mereka.

Di beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak menjadi rabies dan menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan terhadap kekejaman binatang membunuh jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap tahun karena akomodasi yang tidak memadai. – di Amerika Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan dalam waktu seminggu setelah diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.

Pada akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah tidak benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme atas belas kasih, tetapi tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.


Setiap Orang secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang.

Area hutan yang luas harus digunduli untuk perumahan karena kita ingin tinggal di dalam rumah. Ini mengakibatkan kematian sejumlah besar binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan rumah tangga dan peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli untuk lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan listrik, sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air. Ini mengakibatkan banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan hidup binatang.

Karena kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya.

Lagi, demi keselamatan kita, anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi berbagai produk yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera, kosmetik, film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan mengorbankan hidup binatang.

Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan seperti yang dijelaskan sebelumnya maka kita tidak seharusnya tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah tangga yang diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai mobil, dsbnya.

’Chi Zhai’, bukan ’Chi Su’
Banyak umat Buddhis Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme Mahayana mengajari praktik vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’ (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’ (tidak makan setelah petang hari sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan tertua, ’Chi Su’ disebutkan sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak bermanfaat. ’Chi Su’ dijalankan oleh Han Chuan (Buddhisme Tionghoa), bukan Bei Chuan (Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet dan di Jepang bukan vegetarian. Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni Buddhis untuk berpola makan vegetarian.

Kata ’Zhai’ berarti tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni berpuasa. Itu sebabnya bulan puasa umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang Buddha mengajari muridnya untuk ’Chi Zai’, yakni tidak makan (dengan pengecualian obat-obatan) setelah petang sampai keesokan subuh (jam 1 siang sampai 7 pagi di Malaysia). Di Han Chuan, makna dari ’Chi Zhai’ ini menjadi sinonim dengan ’Chi Su’.
Pandangan Buddha tentang makanan

PENDAHULUAN
Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.

Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.

Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.

Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita.
REFERENSI SUTTA


Majjhima Nikaya 55

Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging.

Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”; dan bertanya apakah hal ini memang benar.

Sang Buddha menyangkal hal ini, menambahkan “
Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”
Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan:
“Jika seseorang menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal … (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ ... (ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat … (iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ … (iv) Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih … (v) Ketika dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak diijinkan …. ”
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan1 dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan dengan makan daging.


Anguttara Nikaya 8.12

Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha.

Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya
untuk samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingannya.’

Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ … Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha … Dhamma… Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.

Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.


Anguttara Nikaya 5.44

Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh Sang Buddha.

Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan daging.

REFERENSI VINAYA


Patimokkha: Pacittiya 39

Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak makan, madu, gula, ikan, daging … Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.


Buku Kedisiplinan: Buku Keempat2

Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu:
manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.


Buku Kedisiplinan : Buku Keempat3

Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.


Buku Kedisiplinan : Buku Pertama4

Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau … sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh umat memasaknya dan memakannya.

Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.


Buku Kedisiplinan : Buku Kedua5

Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha.

Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.


Buku Kedisiplinan : Buku Kelima6

Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging.

Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).”

Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong.

BERBAGAI ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING
Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali dia (i) diundang untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii) makanan itu dimasak di Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah salah satu dari dasar/landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.

Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita bias melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis makanan setiap hari.

Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis - - yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.


Argumentasi Permintaan dan Penyediaan

Beberapa orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya, seseorang pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.

Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat : (i) sebab dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya. Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh. Makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.

Argumentasi permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia9 dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari - - yang lebih buruk daripada makan daging!

Memang benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Kita akan mendiskusikannya di bawah.


Vegetarianisme juga Mendorong Pembunuhan

Kita mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya, kangguru dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen.

Banyak barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera yang tidak terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih10 dari serangga lak yang tidak terhitung jumlahnya.

Kosmetik mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan, seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju menggunakan dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.

Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan ini. Film fotografis menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan tulang dari binatang.

Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering yang digiling, dan sisa potongan ikan lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.

Semua ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau yang lain dalam kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang.

Jadi seandainya seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di atas dan menghindari kritik yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.
Binatang Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian Walaupun semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena binatang berkembang biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan mudah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.

Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah binatang yang dilindungi. Akan tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak dengan cepat dan menjadi ancaman, dan hukum perlindungan harus dilonggarkan untuk mengurangi jumlah mereka.

Di beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak menjadi rabies dan menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan terhadap kekejaman binatang membunuh jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap tahun karena akomodasi yang tidak memadai. – di Amerika Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan dalam waktu seminggu setelah diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.

Pada akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah tidak benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme atas belas kasih, tetapi tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.

Setiap Orang secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang.

Area hutan yang luas harus digunduli untuk perumahan karena kita ingin tinggal di dalam rumah. Ini mengakibatkan kematian sejumlah besar binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan rumah tangga dan peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli untuk lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan listrik, sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air. Ini mengakibatkan banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan hidup binatang.

Karena kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya.

Lagi, demi keselamatan kita, anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi berbagai produk yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera, kosmetik, film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan mengorbankan hidup binatang.

Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan seperti yang dijelaskan sebelumnya maka kita tidak seharusnya tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah tangga yang diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai mobil, dsbnya.

’Chi Zhai’, bukan ’Chi Su’
Banyak umat Buddhis Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme Mahayana mengajari praktik vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’ (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’ (tidak makan setelah petang hari sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan tertua, ’Chi Su’ disebutkan sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak bermanfaat. ’Chi Su’ dijalankan oleh Han Chuan (Buddhisme Tionghoa), bukan Bei Chuan (Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet dan di Jepang bukan vegetarian. Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni Buddhis untuk berpola makan vegetarian.

Kata ’Zhai’ berarti tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni berpuasa. Itu sebabnya bulan puasa umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang Buddha mengajari muridnya untuk ’Chi Zai’, yakni tidak makan (dengan pengecualian obat-obatan) setelah petang sampai keesokan subuh (jam 1 siang sampai 7 pagi di Malaysia). Di Han Chuan, makna dari ’Chi Zhai’ ini menjadi sinonim dengan ’Chi Su’.

26 Oktober 2010



























04 Oktober 2010

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambhuddhasa....3x


Saudara/i sedhamma yang berbahagia Keluarga besar Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC) Jl. Boulevadt Utara No. 1 - Komplek Perumahan Cemara Asri - Medan - Sumatera Utara. akan mengadakan sangha dana dibulan Kathina pada :

Hari : Minggu malam
Tanggal : 24 Oktober 2010
Pukul : 19.00 - selesai WIB

Hari kathina merupakan salah salah satu bagian dari hari raya di agama Buddha, yang mana hari ini berkaitan dengan para anggota sangha yang telah menyelesaikan masa Vassavasso (musim penghujan). hari kathina juga merupakan kesempatan baik tentunya bagi umat Buddha khususnya yang mau berdana dan menyokong untuk kelangsungan dan kelestarian sangha. kita tau bawasannya bedana adalah salah satu praktek atau ajaran Buddha yang paling mendasar, memberikan dana kepada sangha sama halnya kita sudah menjaga dan berupaya untuk melestarikan dhamma (Sabba Danam Dhamma Danam Jinati), kita tau dengan keberadaan sangha dhamma ajaran sang Buddha ada hingga saat ini. Berdana adalah bentuk kebajikan yang tiada taranya dengan mengembangkan berdana kita akan memperoleh AYU VANNO SUKKHAM BALAM (Panjang umur, kecantikan/ ketampanan, kebahagiaan dan kekuatan)

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitta
semoga semua maklhuk hidup berbahagia......

11 Agustus 2010

Ketidak sempurnaan manusia di dunia dan juga serta perjalanannya bukan tidak mungkin akan menemukan dan menghadapi sebuah hal yang tentunya semua itu tidaklah sama, terkadang sebuah hal yang menyenangkan tetapi terkadang juga sebuah hal yang tidak menyenangkan.
Manusia cenderung menolak ,memberontak, tidak rela menerimanya bahkan mengecam apa yang terjadi didalam dirinya yang sifatnya kurang menyenangkan. Sehingga banyak sudah cara pandang piker mereka menjadi kearah yang tidak benar. Keyakinan yang sebelumnya masih tipis mempermudah seseoarang untuk berbuat hal – hal yang negative, Keyakinan yang kebenarannya belum tentu terkadang mudah dipercayai dan dijadikan sebagai langkah – langkah demi mewujudkan apa yang diharapkannya,
Keyakinan serta kepercayaan yang membabi buta sering mengakibatkan seseorang menjadi tidak puas, sehingga penderitaanlah yang akhirnya mereka rasakan. Keyakinan seperti ini bukanlah cara pandang dalam konsep Buddhis yang real, cara pandang yang tepat dan benar. Didalam Buddhasasana Saddha (keyakinan) diajarkan tidak hanya untuk sekedar percaya yang membabi buta saja, melainkan Saddha (keyakinan) didalam ajaran Buddha adalah kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan dan apa yang diajarkan Buddha merupakan kebenaran mutlak,bukan suatu hal yang masih diragukan, yg diterapkan untuk tidak hanya sekedar percaya membabibuta saja, tetapi kita di tuntut untuk melihat, mengetahui dan memahami (ehipassiko ) agar pemahaman dan kepastian itu kita temukan sendiri.
Sehingga Keyakinan seperti inilah, keyakinan yang rasional, keyakinan yang dewasa, keyakinan yang benar – benar muncul dari dalam diri sendiri tanpa ada pengaruh dari manapun, tanpa dimonopoli oleh siapapun, Tetapi keyakinan juga mesti harus diiringi dengan kebijaksanaan, pikiran dan serta pandangan benar,agar keyakinan tersebut bisa terarah, Keyakinan akan menjadi persoalan dan masalah apabila seseoarang tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas.

Dalam Buddhasasana ada beberapa kelompok tentang pandang Saddha (keyakinan)
1. Keyakinan yang Real
2. Keyakinan sifat – sifat yang baik
3. Keyakinan berdasarkan harapan

(Ang.Nikaya IV.34) Para Bhikkhu ada 4 jenis keyakinan yg terbaik, apakah itu ???

“Para Bhikkhu, diantara semua makhluk – makhluk hidup, baik yang tanpa kaki atau berkaki dua, berkaki emapat atau berkaki banyak yang berbentuk atau tanpa bentuk, yang bisa memahami atau yg tdk bisa memahami……..””Sang Tathagata, Arahat yg sepenuhnya tercerahkan, yg terbaik diantara semua. Mereka yang memiliki keyakinan pada Buddha memiliki keyakinan yang terbaik. Hasil yang terbaik akan mereka miliki”

“Para Bhikkhu diantara hal – hal yg berkondisi, jalan mulia berunsur 8 dianggap yg terbaik diantara semuanya, dan bagi mereka yang memiliki kayakinan pada yang terbaik hasil yang terbaik akan mereka miliki”

“Para Bhikkhu, diantara hal – hal yang berondisi dan hal – hal yang tak berkondisi, mereka memiliki keyakinan terhadap Dhamma yang tanpa Nafsu, memiliki keyakinan pada yang terbaik, hasil yang terbaik akan mereka miliki”

“Para Bhikkhu diantara semua kelompok atau komonitas, Sangha siswa Sang Tathagata dianggap yg terbaik dan memiliki keyakinan terbaik, hasil yg terbaik akan mereka miliki”

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.....

10 Agustus 2010

Dalam kitab suci Tipitaka diuraikan mengenai empat hari suci agama Buddha, yaitu :
1. Hari Suci Waisak.
2. Hari Suci Asadha.
3. Hari Suci Khatina.
4. Hari Suci Magha Puja.
Dari ke empat hari suci agama Buddha tersebut, hanya hari Vaisak lah yang mungkin sering didengar dan diketahui oleh kalayak umum. Terkadang juga hari asadha juga masih tabu bagi umat Buddha sendiri, masih banyak umat Buddha yg belum mengerti apa hari Asadha tersebut. Padahal hari Asadha merupakan salah satu hari yg penting dalam agama Buddha.
Hari Suci Asadha
Peristiwa suci Asadha merupakan peristiwa yang mempunyai arti yang amat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab, dengan terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini; Buddha Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya.
Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu :
1. Khotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana.
2. Terbentuknya sangha Bhikkhu yang pertama.
3. Lengkapnya Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha ).
Tepat dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha ).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Sang Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Sang Buddha mengajarkan mengenai Empat Kesunyataan Mulia ( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :
1. Dukkha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang adanya dukkha.
2. Dukkha Samudaya Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang sebab dukkha.
3. Dukkha Nirodha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya dukkha.
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang Jalan untuk melenyapkan dukkha.
Sang Buddha mengajarkan bahwa hidup dalam bentuk apapun adalah dukkha atau penderitaan. Umat Buddha tidak boleh menutup mata pada kebenaran tentang adanya penderitaan yang mencengkeram kehidupan ini. Umat Buddha harus menyadari dan mengakui kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan. Umat Buddha harus menghadapi penderitaan yang datang padanya dengan tabah.
Selanjutnya, umat Buddha harus berusaha mencabut akar penderitaan itu, agar tidak bertumimbal lahir terus menerus. Sang Buddha mengajarkan bahwa akar atau sebab penderitaan itu adalah tanha atau nafsu-nafsu keinginan rendah yang tidak ada habis-habisnya. Tanha terdiri atas tiga jenis, yaitu :
1. Kama tanha, yang berarti keinginan akan kenikmatan-n-kenikmatan indria.
2. Bhava tanha, yang berarti keinginan akan kelangsungan atau perwujudan.
3. Vibhava tanha, yang berarti keinginan akan pemusnahan.
Hanya dengan terpotongnya sebab penderitaan atau tanha sampai keakar-akarnya, maka kebahagiaan tertinggi dapat dicapai. Hanya dengan dilenyapkanya tanha, maka dukkha juga dapat dilenyapkan. Lenyapnya dukkha berarti tercapainya Nibbana.
Sang Buddha mengajarkan bahwa ada satu jalan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan, yaitu Ariya Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan). Jalan yang Agung dan Keramat ini hanyalah satu, tetapi terdiri atas delapan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya. Jalan Keramat ini dikenal juga sebagai “ Jalan Tengah “ ( Majjhima Patipada ), karena “Jalan” ini mengindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri.
Ariya Atthangika Magga ini terdiri atas :
1. Samma Ditthi, yang berarti Pandangan Benar.
2. Samma Sankappa, yang berarti Pikiran Benar.
3. Samma Vaca, yang berarti Ucapan Benar.
4. Samma Kammanta, yang berarti Perbuatan Benar.
5. Samma Ajiva, yang berarti Penghidupan Benar.
6. Samma Vayama, yang berarti Daya Upaya Benar.
7. Samma Sati, yang berarti Perhatian Benar.
8. Samma Samadhi, yang berarti Konsentrasi Benar.
Ariya Atthangika Magga dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : sila, samadhi, dan panna. Umat Buddha harus mengembangkan latihan sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak mudah untuk melakukan hal ini. Tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Sila berarti prilaku yang baik atau tingkah laku yang luhur. Sila meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu : Samma Vaca, Samma Kammanta, dan Samma Ajiva.
Samadhi berarti konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran pada satu objek yang baik. Samadhi meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Vayama, Samma Sati, dan Samma Samadhi.
Panna berati kebijaksanaan luhur, yaitu mengetahui antara yang benar dan tidak benar, yang berguna dan tidak berguna. Panna meliputi dua bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Ditthi dan Samma Sankhappa.
Sang Buddha telah mewariskan Cattari Ariya Saccani untuk direalisasikan agar dapat melepaskan diri dari siklus kelahiran yang berulang-ulang yang penuh dengan penderitaan ini. Ya….umat Buddha harus berjuang dengan gigih dalam kehidupan sehari-hari, untuk memperkecil sebab-sebab penderitaan, untuk mencapai kebahagiaan setahap demi setahap. Ingatlah, hanya dengan berjuang sungguh-sungguh dalam Dhamma dan Vinaya, barulah orang dapat diri masing-masing.
Dalam Ratana Sutta bait kesembilan terdapat sabda Sang Buddha sebagai berikut:
“ Mereka yang telah menembus Empat Kesunyataan Mulia,
yang dibabarkan dengan jelas oleh Sang Maha Bijaksana,
meskipun belum sempurna,
namun mereka tidak akan mengalami kelahiran yanga kedelapan.”

Ini berarti bahwa mereka mencapai tingkat kesucian Sotapanna, yang akan lahir paling banyak tujuh kali lagi.