"Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima." (Digha Nikaya 25 : Patika Vagga ; Udumbarika - Sīhanāda Sutta)



02 November 2013

HARMONI PERKAWINAN

Perkawinan yang ada didalam agama buddha tidak dianggap sebagai seuatu yang suci atau tidak suci. Setiap pria dan wanita mempunyai kebebasan dalam memilih cara hidupnya masing-masing: menikah atau tetap membujang. Dengan demikian bahwa perkawinan bukan semata-mata kewajiban beragama yang harus dipatuhi.
Bila suami istri membangun lembaga perkawinan itu dengan baik berdasarkan dhamma, maka perkawinan akan menjadi mangala --berkah kebahagiaan—dalam kehidupan. bahkan dalam tingkat-tingkat kesucianpun tidak tertutup bagi mereka yang telah memilih cara hidup berkeluarga. Namun sebaliknya, bila perkawinan dilakukan tanpa dasar yang kokoh, maka lembaga perkawinan akan menjadi jalan mempercepat keneraka.
Dhamma sebagai jalan –Niyyanika Dhamma atau patipatti dhamma—memberikan tuntunan bagi semuanya dalam cara hidup yang berbeda: hidup kebhikkhuan atau perumah tangga. Tetapi, meskipun cara hidup mereka berbeda, dhamma membawa keduanya untuk menempuh tujuan perjalanan yang sama, yaitu kebahagiaan tertinggi atau kebebasan dari penderitaan.
Tanggung jawab bersama
Cukup banyak kotbah sang buddha yang dijelaskan dengan sangat rinci tentang praktek kehidupan benar dalam membangun dan mengisi lembaga perkawinan itu. Sigalovada sutta –yang menunjukkan kewajiban hdiup masyarakat, termasuk kewajiban suami istri dan orang tua -- anak harus menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dalam sammajiwisutta, sang buddha sendiri meletakkan dasar-dasar perkawinan harmoni:
Para Bhikkhu, bila suami dan istri mengharapkan dapart saling bertemu dalam kehidupan ini dan dalam kehidupan yang akan datang, keduanya hendak menjadi orang memiliki keyainan (saddha) yang sebanding, memiliki tata susila yang sembanding, memiliki kemurahan hati (caga) yang sebanding,dan memiliki kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Suami istri yang demikian itu tentulah dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dalam kehidupan yang akan datang.”
Kehidupan harmoni tidak dapat dituntut dari sepihak, baik suami ataupun istri juga anak-anak mereka, mempunyai kewajiban moral dalam membangun keluarga harmoni.
Berbicara tentang perkawinan sesungguhnya bukan hanya menoroti persoalan cinta, seks dan kebahagian berpasangan, tidak kalah pentingnya adalah hubungan timbal balik antara pasangan suami istri sebagai orang tua kepada anak-anak mereka. Anak adalah bagian dari keluarga. Mereka adalah tumpuan harapan orang tua, pembawa kebahagiaan, tetapi juga sebaliknya, bisa menjadi salah satu cumber bencana dalam rumah tangga.
Aspek moral dan sosial ekonomi
Sebagaimana judul artikel ini – harmoni perkawinan—akan saya titik beratkan bahasan tentang sikap mental yang mendasari keharmonisan itu. Dalam sigalovada sutta, sang buddha menjelaskan tentang jalainan kewajiban suami istri sebagai berikut:
wahai perumah tangga muda, dalam lima hal seorang suami harus berlaku terhadap istrinya:
  1. memuji dan memperarat hubungan
  2. menghargai
  3. setia
  4. memberikan peranan kepadanya
  5. memberikan pakaian dan perhiasan
dalam lima hal pula seorang istri memperlakukan suaminya dengan kasih sayang:
mengurus rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab
ramah terhadap mertua dan sahaba-sahabat suaminya
setia
melindungi penghasilan suami(tidak boros)
rajin dan pandai melaksanakan tugas-tugasnya.”
Kewajiban yang diruaikan didalam sigalovada sutta tersebut menuntut pasangan suami istri untuk berlaku benar dalam hal moral dan kebutuhan sosial ekonomi. Diatas kedua dasar ini lembaga perkawinan akan kokoh berdiri membawakan keharmonisan dan kesejahteraan. Tidak ada tawar menawar untuk keduanya, sebab kalau diabaikan maka keduanya akan menjadi sumbu penyulut pertengkaran dan kehancuran keluarga.
Sumber percecokkan
Suami yang menjaga moral dengan baik, tetapi mengabaikan kebutuhan sosial ekonomi keluarga, akan menyebabkan keluarga itu hidup dalam kekurangan, bahkan kemiskinan. Hal. Ini mudah sekali menimbulkan seribu satu macam persoalan yang kemudian menyulut api percecokkan.
Demikian pula pasangan suami istri tidak kekurangan, bahkan berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi, tapi salah satu atau keduanya tidak memiliki moral yang baik, maka tidak mungkin juga meraka akan menikmati suasana harmoni dan buah kebahagiaan. Keluarga seperti ini ibarat pohon yang sarat buahnya tapi akarnya tidak kuat karena mulai digerogoti hama dan penyakit.
Cinta kasih sebagai kunci
Agama buddha mencita-citakan keluarga harmoni sebagai keluarga bahagia dan sejahtera. Keluarga bahagia ini dihargai sebagai berkah utama, yang merupakan salah satu kondisi penting, yang memungkinkan seseorang mencapai kemajuan.
Kalau kita kaji lebih dalam, sampaialh kita pada kesimpulan bahwa dasar hakiki keharmonisan adalah cinta kasih. Bukan saja kewajiban yang disebutkan dalam sigalovadasutta tersebut bersumber pada cinta kasih antara suami dan istri, tetapi hampir semua orang yakin, bahwa cinta kasih itu yang membuat seseorang bertanggung jawab dalam membangun dan memelihara keluarga harmoni.
Tetapi perlu diingat bahwa cinta kasih yang menjadi dasar hakiki keharmonian bukanlah suatu yang bisa didapat dengan sekali pungut. Cinta kasih harus dipupuk dengan dasar pengertian yang benar, keuletan dan kesabaran, dari saat ke saat, dari hari kehari, sepanjang hidup inoi.
Sikap berterus terang
Dalam agama buddha , cinta kasih bukan hanya sikap emosiaonal mencintai, apalagi memiliki. Tetapi cinta kasih adalah suatu sikap yang berdiri diatas dasar kebijaksanaan, yaitu: sikap memberi. Salah satu sifat cinta kasih yang harus kita pupuk dalam lembaga perkawinan adalah: saling memberi kesempatan yang memungkinkan sikap untuk berterus terang. Tidak hanya bagi pasangan suami istri, orang tua dan anak, sudah tidak saling mempercayai, saling sembunyi-sembunyi, tidak mau berterus terang, tidak mau terbuka, maka keharmonisan pasangan dan juga keharmonisan keluarga yang menjadi idaman hanyalah tinggal impian. Rupa-rupanya sekarang ini lembaga perkawinan dan juga kehidupan keluarga sudah banyak yang mengalami erosi keterusterangan. Mereka hidup berkeluarga, suami istri atau ayah ibu dan anak, tetapi nyatanya mereka tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Mereka bersikap saling merahasiakan, sehingga akhirnya keakuan menggantikan cinta kasih dan keharmonisan.
Keterus terangan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan pengendalian diri, mempunyai sikap mau berterus terang, tidak tertutup, berarti bersedia (berani) menerima kenyataan dengan wajar, tidak emosional dan bersedia meberikan pandangan dengan wajar pula. Kalau sikap mau berterus terang atau keterbukaan ini banyak dicampuri tuntutan keakuan, suami selelu menuntut dan mencela sikap istri atau sebaliknya, membuka persoalan dan kesulitan pada pasangannya. Hubungan harmoni akan berubah menjadi hubungan formal yang kaku.
Sebagai penutup dari artikel ini, saya akan menghakiri dengan menunjukkan enam faktor pemelihara keharmonisan, seperti disebutkan oleh sang buddha dalam saraniya dhamma sutta:
Saling memperlakukan dengan cinta kasih
Berbicara dengan cinta kasih
Memikirkan dengan cinta kasih
Masing-masing saling mengajak untuk ikut serta menikmati kebahagiaan yang sedang dinikmatinya
Mempunyai sikap moral yang serasi
Mempunyai pandangan hidup yang sama
Semoga uraian membwa mamfaat bagi anda dalam mempersiapkan, membangun dan membenahi perkawinan serta keluarga.

0 komentar:

Posting Komentar