"Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima." (Digha Nikaya 25 : Patika Vagga ; Udumbarika - Sīhanāda Sutta)



02 November 2013



“The Greatness of Sharing”
Penyaji : Bhikkhu Aggacitto

“Dhammapiti Sukham Seti Vippasanena Cetasa,
Ariyappavedite Dhamme Sada ramati pandito”
Ia yang mengenal Dhamma akan hidup bahagia dengan pikiran tenang dan damai
Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya
(Dpd. Pandita Vagga : VI Syair 79)

Pada hakikatnya kehidupan manusia tidak akan dapat terlepas dari yang namanya hubungan antar sesama (SIMBIOSIS MUTUALISME) sebab manusia juga dapat diartikan sebagai makhluk sosial, tentu ia masih membutuhkan bantuan maupun dukungan dan dorongan dari pihak lain. Demikian juga kehidupan para umat perumahtangga (garavasa) yang mempunyai hubungan sangat erat terhadap kehidupan para Bhikkhu, salah satunya adalah hubungan timbal balik yang pengaplikasiannya para umat perumahtangga menyokong kebutuhan-kebutuhan pokok para Bhikkhu (Catupacaya/ Parikkhara), sedangkan para Bhikkhu juga sama memberikan kebutuhan-kebutuhan umat dalam bentuk nilai-nilai spiritual yaitu dengan memberikan wejangan atau nasehat dhamma yang dapat dijadikan landasan hidup untuk menuju keharmonisasian yang lebih baik. Jadi kontribusi kedua belah pihak ini sangat perlu dibina dan dilestarikan demi menjaga kelangsungan dan keutuhan ajaran sang Buddha didunia, para umat perumah tangga (garavasa) dan Bhikkhu harus senantiasa saling Asih, Asah dan Asuh agar keseimbangan umat Buddha (Bhikkhu/ Bhikkhuni, Samanera/ Samaneri dan Upasaka/ Upasika) tetap terjaga dengan baik  (Sigalovada Sutta, Digha nikaya III, 31).
Umat Buddha tentu sudah mengerti dan memahami apa yang disebut “Hari Kathina atau Sangha Dana di Bulan Kathina”, yang mana setiap tahunnya umat Buddha selalu menyelenggarakan di Vihara-Vihara atau Cetiya-Cetiya. Hari Kathina secara umumnya bisa diartikan sebagai hari bhakti atau bentuk wujud ungkapan terima kasih (Katannukatavedi) kepada Bhikkhu Sangha yang telah memberikan kontribusi positif bagi umat dalam penghayatan terhadap Buddha Dhamma, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan memberikan persembahan dana berupa kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan dan papan (Civara : Jubah, Pindapata : makanan, Senasana : tempat tinggal (Kuti/Vihara), Gilanapaccayabhesajja : obat-obatan). Hari Kathina merupakan hari yang special dibandingkan dengan hari-hari lainnya untuk menanam jasa kebajikan, tetapi hendaknya jangan disalah artikan bahwa dihari lain/ dihari biasa tidak baik untuk melakukan kebajikan. Sebab persembahan dana yang diberikan dihari Kathina bukan tertuju hanya kepada individu Bhikkhu tertentu melainkan dana tersebut adalah untuk Sangha yaitu persamuan para Bhikkhu. Tentunya ini merupakan kesempatan dan waktu yang tepat untuk menanam jasa kebajikan diladang yang subur, karena Sangha merupakan pelestari dan pemeliharaan ajaran Buddha yang murni, Oleh karenanya sabda Buddha menjelaskan “Sabba Danam Dhamma Danam Jinati – dari seluruh dana, berdana untuk kepentingan dhamma jasa pahalanya melebihi segala bentuk dana lainnya” (Dpd. Tanha Vagga XXIV Syair 354). Terlebih didalam salah satu bagian Tipitaka “Velumakkha Sutta” telah dijelaskan "Berdana kepada orang yang bermoral akan jauh lebih besar jasanya daripada berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral yang baik. Segala bentuk aktifitas dan rutinitas yang dilakukan para Bhikkhu Sangha tidak terlepas dari yang namanya aturan (Vinaya). Secara tidak langsung semua dana persembahan yang telah diberikan kepada Sangha akan bermanfaat dalam pengembangan Buddha Dhamma dan tentunya semua dana tersebut tidaklah sia-sia.
Kendati demikian, umat Buddha juga perlu memahami esensi didalam melakukan pemberian, baik kepada Sangha maupun kepada siapa saja. Karena hal ini sangat berpengaruh kepada kesempurnaan dari apa yang telah dilakukan. Meskipun menanam jasa kebajikan dilakukan ditempat yang subur, akan tetapi jika benih dari yang ditanam maupun yang menanam tidak sesuai maka semuanya juga tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu ada beberapa hal yang mesti dipahami.:
1.      Cetana Sampada (Niat)
Cetana (niat) merupakan faktor yang sangat penting yang menjadi pendorong dalam segala hal. Yang disebut Kamma baik maupun Kamma buruk juga didasari oleh cetana. Cetana adalah penentu/ motif dan sebagai motivator dalam melakukan segala sesuatu, tanpa ada hal tersebut maka segalanya tidak akan pernah dapat terlaksanakan dengan baik. Untuk itu hendaknya Cetana yang telah dimiliki tidak hanya bertujuan untuk kesenangan indriawi, melainkan dipergunakan untuk tujuan yang luhur yaitu untuk membebaskan diri dari kekotoran batin, untuk mengikis keserakahan, untuk melenyapkan kebodohan dan untuk menumbuh kembangkan welas asih kepada sesama maupun kepada semua makhluk.
Cetana (niat) yang baik dalam memberi meliputi :
-          Pubbe Cetana (sebelum melakukan)
Hendaknya sebelum melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
-          Munca Cetana (sesaat melakukan)
Hendaknya sesaat melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan terhadap dana yang diberikan.
-          Aparapara Cetana (sesudah melakukan)
Hendaknya sesudah melakukan seseorang memiliki keyakinan dan niat yang baik dengan penuh sukacita, kebahagiaan, ketulusan dan keiklasan tanpa ada rasa penyesalan/kekecewaan atau terbebani dari apa yang sudah didanakan.
2.      Vatthu Sampada (barang yang didanakan)
-          Hendaknya barang yang didanakan sebaiknya barang-barang yang bersih
-          Tidak dari hasil pencurian atau penipuan, didapatkan dengan usaha yang benar
-          Tidak diperoleh dengan cara melanggar hukum Negara dan Agama
-          Dana diberikan dengan penuh hormat
3.      Pugala Dana (penerima dana)
-          Sang Buddha pernah dituduh seseorang: "Apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang tidak punya moral itu tidak ada gunanya?" Sang Buddha kemudian menjawab"Aku tidak pernah mengatakan demikian bahwa berdana tidak ada gunanya, meskipun orang membuang sisa-sisa dari satu panci atau mangkuk kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para makhluk hidup di dalamnya dapat memperoleh makanan, perbuatan inipun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia". (Anguttara Nikaya III : 57) dari uraian tersebut tentu sudah jelas penerima dari dana yang diberikan berpengaruh besar, tetapi sekali lagi bukan berarti orang yang tidak bermoral jasa kebajikan tidak, Jasa kebajikan masih tetap ada akan tetapi nilai dari jasa tersebut tidaklah maksimal.
-          Sang Buddha juga menyatakan dan mempertegas kepada para siswanya bahwa "Berdana kepada Sangha sangatlah besar jasa pahalanya” (Sangha disini terdiri menjadi dua kelompok : Samutti Sangha – yaitu yang belum mencapai kesucian dan Ariya Sangha - yaitu yang telah mencapai kesucian).
Dari uraian diatas semoga dapat dijadikan bahan renungan umat Buddha agar dalam melakukan kebajikan dapat memahami esensi yang sesungguhnya, sehingga kebajikan yang telah dilakukan dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar. "Sesuai dengan benih yang ditabur maka demikian pulalah buah yang kelak akan dituai, Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaa, demikian juga sebaliknya” (Samyutta Nikaya I:227). Membiasakan praktik untuk memberi juga dapat berfungsi meminimalisir hal-hal yang negative muncul didalam pikiran terlebih dapat menumbuh kembangkan pikiran-pikiran yang bijaksana untuk menuju kepada ketenangan dan kedamaian.
“Jika ada sumur diladang bolehlah kita numpang mandi,
Jika ada waktu dan kesempatan janganlah lupa untuk berbagi”
“Jalan-jalan ke Brastagi, Jangan lupa membawa topi,
Umat Buddha jangan takut berbagi, Karena itu bekal dihari nanti”
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
Sadhu…Sadhu…Sadhu…






“PENTINGNYA KESEIMBANGAN HIDUP”
By Bhikkhu Aggacitto

Manusia merupakan salah satu makhluk yang selalu mengalami perkembangan, setiap waktu tanpa disadari seseorang sebenarnya telah mengalami perekembangan dan perubahan. Tetapi karena adanya kegelapan didalam batin yang dibutakan oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan maka hal tersebut tidak disadarinya. Seiring dengan perkembangan manusia dan perkembangan zaman, telah banyak memberikan perubahan hidup. Demikian juga fenomena kehidupan semakin banyak pula dijumpai dan dialami dalam rutinitas keseharian, baik itu sesuatu yang disukai atau sesuatu yang tidak disukai, baik hal yang membahagiakan ataupun yang menyengsarakan. Ketika kondisi yang menyenangkan dan membahagiakan tentu itu tidak akan berpengaruh terhadap diri seseorang dan tidak akan menjadi suatu beban masalah baginya. Tetapi jika kondisi yang tidak menyenangkan dan suatu hal yang membuat penderitaan maka itu akan menjadi masalah baginya. Berdasarkan observasi, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya seseorang mengalami kegagalan dan ketidak mampuan dalam menghadapi semua masalah yang dialaminya yang akhirnya berimbas kepada ganguan kesehatan yaitu peningkatan setres dan depresi pada diri seseorang, sehingga seseorang banyak yang melampiaskan dengan cara – cara yang kurang tepat, seperti terjerumus kepada pengkonsumsian minuman beralkohol sampai pada penggunaan obat – obat terlarang. Hal tersebut tentu memeberikan suatu gambaran bahwa ketidak mampuan mental dan pondasi diri seseorang rapuh. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya suatu solusi yang tepat dan benar, maka akan memberikan keterpurukan yang berkepanjangan dan ketidak seimbangan hidup seseorang.
Fenomema – fenomena yang bermunculan tersebut merupakan bagian dari bentuk ketidak sehatan mental manusia didalam menyeimbangkan hidupnya terhadap nilai – nilai spiritual, ketika seseorang sudah mampu mengaktualisasi dirinya tehadap religiusitas maka akan sangat memperkecil kondisi yang buruk mempengaruhinya. Meskipun masalah hidup sering muncul maka hal itu tidak akan memberikan efek yang buruk baginya. Karena nilai – niali dari spiritual akan memberikan kekuatan tersendiri bagi seseorang untu merubah hidupnya kearah yang positif.
Sesungguhnya sejak awal manusia terlahir didunia ini sudah mempunyai kekuatan, karena manusia memiliki penalaran dan pemikiran, yang berbeda dengan makhluk – makhluk lainnya. Tetapi karena saking banyaknya kebodohan didalam bati (kegelapan batin) maka merek tidak menyadarinya bagaiman eksistensi manusia yang sesungguhnya. Manusia cenderung pasrah dan menggantungkan diri pada sesuatu diluar dari dirinya sendiri. Maka dari itu rubahlah pola pikir dan tindakan yang kurang bijaksana tersebut.  Dalam sabda Sang Buddha dikatakan “Ia yang telah mengenal ajaran Buddha dan kemudian mempraktikan dalam kehidupan sehari – hari dengan penuh ketekunan dan ketulusan, maka ia akan diliputi kebahagiaan dan ketenangan” (Pandita Vagga, VI:79)
Batin semua orang sebenarnya adalah sama tergantung bagaimana seseorang mampu dan bisa mengolahnya, “Seperti halnya jika seseorang memiliki anjing peliharaan, apabila sang pemilik ingin mempunyai anjing yang cerdik dan penurut maka anjing tersebut haruslah dilatih dengan baik dan benar”. Mengenali batin atau melihat diri sendiri merupakan suatu obat dan salah satu langkah yang sangat tepat didalam mengatasi semua fenomen problem yang terjadi didalam kehidupan, dan tentunya dari hal tersebut tidak akan memberikan efek yang negatif bagi diri seseorang, justru kehidupan seseorang akan semakin lebih tenang dan damai.
Tips sederhana “Chanda (puaslah dan senangilah apa yang dikerjakan), Viriya (rajin dan bersemangat tanpa mengeluh dalam melakukan sesuatu), Citta (perhatikan dengan sepenuh hati terhadap yang dilakukan), Vimamsa (evaluasi, penyelidikan dan perenungan terhadap yang dilakukan, lakukanlah dengan bijaksana/ panna. Janganlah pernah menunda waktu untuk melakukan sesuatu yang baik untuk diri sendiri, janganlah hanya ketika mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan hidup baru mau melakukan sesuatu yang baik, kuncinya S4 (Selalu Sadar Setiap Saat). Waktu adalah kesempatan dan kesempatan adalah kunci keberhasilah. Sabda Sang Buddha “Appamadena Sampadetha” berjuanglah dengan benar dan bersunguh – sungguh.



“Rubahlah Hidup Anda Sekarang”
By Bhikkhu Aggacitto

Satu hal yang menyamakan antara satu dengan yang lainnya didalam kehidupan manusia yaitu tercapainya kebahagiaan, bisa dikatakan manusia terlahir didunia ini tidak ada yang mengharapkan sebuah penderitaan didalam kehidupannya. Meskipun demikian harapan dan kenyataan terkadang sangatlah jauh berbeda, semua itu bukanlah karena dipengaruhi oleh siapa – siapa, melainkan itu semua dikarenakan oleh dirinya sendiri yang tidak mampu mentransformasikan dirinya secara maksimal dalam menjalani hidupnya. Manusia lebih cenderung manja, pasrah dan menggantungkan diri terhadap sesuatu diluar dari dirinya sendiri sehingga ketidak berdayaan yang ada didalam dirinya memberikan pengaruh terhadap kehidupannya.
Didalam salah satu buku karangan Napoleon Hill yang berjudul “Think and Grow Rich” dituliskan  “Andalah kapten jiwa dan penentu kehidupan anda”, kemudian didalam “Loka Vagga XII ; Syair 168 Sang Buddha juga bersabda “Uttitthe nappamajjeya dhammam sucaritam care Dhammacari sukkham seti asmim loke paramhi ca” yang artinya Bangun jangan lengah tempuhlah kehidupan dengan benar, barang siapa yang menempuh kehidupan dengan benar, maka ia akan hidup bahagia didunia ini maupun di dunia berikutnya. Dari uraian yang sederhana tetapi memiliki makna yang sangat mendalam tersebut, tentu dapat dijadikan renungan bahwa sebenarnya kehidupan siapapun tidak ada yang mempengaruhinya/ mengaturnya melainkan tergantung bagaimana seseorang menjalaninya. Kehidupan sekarang ini ibaratkan sebuah kapal yang diawaki oleh seorang Nahkoda, kemana arah dan tujuan kapal tergantung bagaimana seorang nahkoda mengarahkan kapal tersebut, tanpa ada seorang nahkoda kapal tidak akan mungkin kapal dapat berjalan dan sampai kepada tujuan.
Untuk itu hendaknya seseorang yang sudah menyadari jika kehidupan ini tegantung pada dirinya sendiri maka seseorang seyogianya harus berani memulai dan berani merubah hidupnya. Meskipun didepan banyak rintangan, banyak badai dan gelombang yang menghadang janganlah pernah sedikitpun takut menghadapinya, “appamadena sampadetha”. Tingkatkanlah kebajikan karena kebajikan adalah salah satu sumber spirit yang mempunyai kekuatan yang dapat membantu merubah kehidupan menjadi lebih baik, yang dapat memberikan kebahagiaan. Janganlah pernah melakukan kesalahan atau keburukan meskipun itu kecil. Yakinlah keteguhan dengan segenap daya upaya benar yang dilakukan akan membuahkan hasil yang gemilang. “Sesuai dengan benih yang ditabur maka itulah buah yang akan dipetik, pelaku kebajikan akan menuai kebajikan pelaku kejahatan akan menuai kejahatan (Samyutta Nikaya I:227).

HARMONI PERKAWINAN

Perkawinan yang ada didalam agama buddha tidak dianggap sebagai seuatu yang suci atau tidak suci. Setiap pria dan wanita mempunyai kebebasan dalam memilih cara hidupnya masing-masing: menikah atau tetap membujang. Dengan demikian bahwa perkawinan bukan semata-mata kewajiban beragama yang harus dipatuhi.
Bila suami istri membangun lembaga perkawinan itu dengan baik berdasarkan dhamma, maka perkawinan akan menjadi mangala --berkah kebahagiaan—dalam kehidupan. bahkan dalam tingkat-tingkat kesucianpun tidak tertutup bagi mereka yang telah memilih cara hidup berkeluarga. Namun sebaliknya, bila perkawinan dilakukan tanpa dasar yang kokoh, maka lembaga perkawinan akan menjadi jalan mempercepat keneraka.
Dhamma sebagai jalan –Niyyanika Dhamma atau patipatti dhamma—memberikan tuntunan bagi semuanya dalam cara hidup yang berbeda: hidup kebhikkhuan atau perumah tangga. Tetapi, meskipun cara hidup mereka berbeda, dhamma membawa keduanya untuk menempuh tujuan perjalanan yang sama, yaitu kebahagiaan tertinggi atau kebebasan dari penderitaan.
Tanggung jawab bersama
Cukup banyak kotbah sang buddha yang dijelaskan dengan sangat rinci tentang praktek kehidupan benar dalam membangun dan mengisi lembaga perkawinan itu. Sigalovada sutta –yang menunjukkan kewajiban hdiup masyarakat, termasuk kewajiban suami istri dan orang tua -- anak harus menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dalam sammajiwisutta, sang buddha sendiri meletakkan dasar-dasar perkawinan harmoni:
Para Bhikkhu, bila suami dan istri mengharapkan dapart saling bertemu dalam kehidupan ini dan dalam kehidupan yang akan datang, keduanya hendak menjadi orang memiliki keyainan (saddha) yang sebanding, memiliki tata susila yang sembanding, memiliki kemurahan hati (caga) yang sebanding,dan memiliki kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Suami istri yang demikian itu tentulah dapat saling bertemu dalam kehidupan sekarang ini dalam kehidupan yang akan datang.”
Kehidupan harmoni tidak dapat dituntut dari sepihak, baik suami ataupun istri juga anak-anak mereka, mempunyai kewajiban moral dalam membangun keluarga harmoni.
Berbicara tentang perkawinan sesungguhnya bukan hanya menoroti persoalan cinta, seks dan kebahagian berpasangan, tidak kalah pentingnya adalah hubungan timbal balik antara pasangan suami istri sebagai orang tua kepada anak-anak mereka. Anak adalah bagian dari keluarga. Mereka adalah tumpuan harapan orang tua, pembawa kebahagiaan, tetapi juga sebaliknya, bisa menjadi salah satu cumber bencana dalam rumah tangga.
Aspek moral dan sosial ekonomi
Sebagaimana judul artikel ini – harmoni perkawinan—akan saya titik beratkan bahasan tentang sikap mental yang mendasari keharmonisan itu. Dalam sigalovada sutta, sang buddha menjelaskan tentang jalainan kewajiban suami istri sebagai berikut:
wahai perumah tangga muda, dalam lima hal seorang suami harus berlaku terhadap istrinya:
  1. memuji dan memperarat hubungan
  2. menghargai
  3. setia
  4. memberikan peranan kepadanya
  5. memberikan pakaian dan perhiasan
dalam lima hal pula seorang istri memperlakukan suaminya dengan kasih sayang:
mengurus rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab
ramah terhadap mertua dan sahaba-sahabat suaminya
setia
melindungi penghasilan suami(tidak boros)
rajin dan pandai melaksanakan tugas-tugasnya.”
Kewajiban yang diruaikan didalam sigalovada sutta tersebut menuntut pasangan suami istri untuk berlaku benar dalam hal moral dan kebutuhan sosial ekonomi. Diatas kedua dasar ini lembaga perkawinan akan kokoh berdiri membawakan keharmonisan dan kesejahteraan. Tidak ada tawar menawar untuk keduanya, sebab kalau diabaikan maka keduanya akan menjadi sumbu penyulut pertengkaran dan kehancuran keluarga.
Sumber percecokkan
Suami yang menjaga moral dengan baik, tetapi mengabaikan kebutuhan sosial ekonomi keluarga, akan menyebabkan keluarga itu hidup dalam kekurangan, bahkan kemiskinan. Hal. Ini mudah sekali menimbulkan seribu satu macam persoalan yang kemudian menyulut api percecokkan.
Demikian pula pasangan suami istri tidak kekurangan, bahkan berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi, tapi salah satu atau keduanya tidak memiliki moral yang baik, maka tidak mungkin juga meraka akan menikmati suasana harmoni dan buah kebahagiaan. Keluarga seperti ini ibarat pohon yang sarat buahnya tapi akarnya tidak kuat karena mulai digerogoti hama dan penyakit.
Cinta kasih sebagai kunci
Agama buddha mencita-citakan keluarga harmoni sebagai keluarga bahagia dan sejahtera. Keluarga bahagia ini dihargai sebagai berkah utama, yang merupakan salah satu kondisi penting, yang memungkinkan seseorang mencapai kemajuan.
Kalau kita kaji lebih dalam, sampaialh kita pada kesimpulan bahwa dasar hakiki keharmonisan adalah cinta kasih. Bukan saja kewajiban yang disebutkan dalam sigalovadasutta tersebut bersumber pada cinta kasih antara suami dan istri, tetapi hampir semua orang yakin, bahwa cinta kasih itu yang membuat seseorang bertanggung jawab dalam membangun dan memelihara keluarga harmoni.
Tetapi perlu diingat bahwa cinta kasih yang menjadi dasar hakiki keharmonian bukanlah suatu yang bisa didapat dengan sekali pungut. Cinta kasih harus dipupuk dengan dasar pengertian yang benar, keuletan dan kesabaran, dari saat ke saat, dari hari kehari, sepanjang hidup inoi.
Sikap berterus terang
Dalam agama buddha , cinta kasih bukan hanya sikap emosiaonal mencintai, apalagi memiliki. Tetapi cinta kasih adalah suatu sikap yang berdiri diatas dasar kebijaksanaan, yaitu: sikap memberi. Salah satu sifat cinta kasih yang harus kita pupuk dalam lembaga perkawinan adalah: saling memberi kesempatan yang memungkinkan sikap untuk berterus terang. Tidak hanya bagi pasangan suami istri, orang tua dan anak, sudah tidak saling mempercayai, saling sembunyi-sembunyi, tidak mau berterus terang, tidak mau terbuka, maka keharmonisan pasangan dan juga keharmonisan keluarga yang menjadi idaman hanyalah tinggal impian. Rupa-rupanya sekarang ini lembaga perkawinan dan juga kehidupan keluarga sudah banyak yang mengalami erosi keterusterangan. Mereka hidup berkeluarga, suami istri atau ayah ibu dan anak, tetapi nyatanya mereka tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Mereka bersikap saling merahasiakan, sehingga akhirnya keakuan menggantikan cinta kasih dan keharmonisan.
Keterus terangan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan pengendalian diri, mempunyai sikap mau berterus terang, tidak tertutup, berarti bersedia (berani) menerima kenyataan dengan wajar, tidak emosional dan bersedia meberikan pandangan dengan wajar pula. Kalau sikap mau berterus terang atau keterbukaan ini banyak dicampuri tuntutan keakuan, suami selelu menuntut dan mencela sikap istri atau sebaliknya, membuka persoalan dan kesulitan pada pasangannya. Hubungan harmoni akan berubah menjadi hubungan formal yang kaku.
Sebagai penutup dari artikel ini, saya akan menghakiri dengan menunjukkan enam faktor pemelihara keharmonisan, seperti disebutkan oleh sang buddha dalam saraniya dhamma sutta:
Saling memperlakukan dengan cinta kasih
Berbicara dengan cinta kasih
Memikirkan dengan cinta kasih
Masing-masing saling mengajak untuk ikut serta menikmati kebahagiaan yang sedang dinikmatinya
Mempunyai sikap moral yang serasi
Mempunyai pandangan hidup yang sama
Semoga uraian membwa mamfaat bagi anda dalam mempersiapkan, membangun dan membenahi perkawinan serta keluarga.

-->

Ia yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa, bersikap adil dan tidak berat sebelah, yang senantiasa menjaga kebenaran, pantas disebut orang yang adil (Dhammapada XIX:2)


Seorang ibu menyuapkan makanan ke mulut anaknya dengan kasih, ketika ada makanan yang berceceran di pipi anaknya, dengan penuh kesabaran dilapnya makanan tersebut. Selintas berkelabat sebuah film kehidupan, di mana anak tersebut memasuki masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan pada akhirnya berkeluarga. Film tersebut berhenti diputar, kembali kepada realita kehidupan di mana sang ibu sudah berubah menjadi tua dan menjadi seorang nenek. Tubuh sang ibu menjadi ringkih, tingkahnya pun kembali menjadi seorang anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari anak-anaknya.

Pernah mendengar kata pepatah yang mengatakan bahwa, 'Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepenggal jalan'?? Memang kadang kala kita sebagai manusia sering melupakan jasa baik yang telah diperbuat oleh seseorang kepada kita, lebih mudah bagi kita untuk mengingat kejahatan yang telah dilakukan oleh orang lain terhadap kita. Kadang? kita berpikir bahwa ibu kita terlalu bawel, terlalu cerewet, mau tahu, suka mengatur, suka memberitahu dan 1001 kejelekan lain yang dimiliki olehnya.? Tapi pernahkah kita memikirkan perjuangannya untuk? melahirkan kita? Seorang ibu mengandung selama 9 bulan, dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri dilahirkannya anaknya yang tercinta ke dunia. Luar biasa. Pernahkah kita memikirkan perjuangannya untuk membesarkan kita dari kita kecil hingga menjadi dewasa?

Seorang ibu mempunyai kasih yang luar biasa sekali. Sebelum kita meminta kepadanya, seorang ibu sudah mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anaknya. Ingatkah waktu kita kecil, ketika hendak berangkat ke sekolah kita datang kepada ibu kita, sebelum kita meminta uang jajan, beliau sudah terlebih dahulu dan memberikan uang jajan tersebut. Makanan yang terenak diberikan kepada anak-anaknya, yang tidak enak dimakannya sendiri. Banyak sekali jasa seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Tiada kebahagiaan yang paling besar bagi seorang ibu, ketika melihat anaknya sukses dan berbahagia. Maka dari itu sudah selayak dan sepantasnya, kita sebagai seorang anak mengucapkan terima kasih dan melakukan penghormatan serta membalas budi baik sang ibu. Banyak cara untuk melakukan hal ini seperti membantu pekerjaan di rumah, belajar dengan rajin, melaksanakan sila yang baik, mempunyai pergaulan yang benar, rajin ke vihara dan mengurus beliau ketika sudah uzur, bukan memasukkannya ke panti jompo.

Waktu berlalu dengan cepat, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu berganti bulan, bulan berganti menjadi tahun. Ingatlah kehidupan ini tidaklah pasti, yang pasti hanyalah kematian. Jadikan setiap hari dalam kehidupan kita menjadi suatu kesempatan untuk menyatakan kasih dan sayang kita kepada ibu bukan hanya pada hari ibu saja (22 Desember). Jangan tunggu sampai ibu kita tiada, marilah kita mulai membahagiakan ibu kita dari sekarang. It's better to say it now while you have the chance to say it because life it's too short. Say it loudly from the deep of your heart, “I luv u, Mom.”


MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM

Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran (kasih sayangnya) tanpa batas.

"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."