SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan
kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal
orang-orang Tionghoa oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa.
Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa
karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro
kalah oleh Belanda.
Lalu pembunuhan massal orang-orang
Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di
Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965
karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa
berdarah Mei 1998 di Jakarta.
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia. Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa - Indonesia.
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia. Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa - Indonesia.
Titik kulminasi dari ketimpangan ini
adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap
etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus
nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di
Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya,
sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga
Indonesia (Susetyo,2002).
Kini, meskipun masa Orde Baru telah
usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja
sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang
tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat
berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa - Indonesia dengan kaum
pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang
asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas
pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.
Penelitian sosial yang
dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat
persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan
ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa
muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang
cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu
itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang
langsung - tidak langsung mengalienasikannya.
Totok dan Peranakan
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.
Identitas sosial positif adalah
suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana
menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri
yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari
yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan
sosial dalam masyarakat.
Ada dua strategi dalam pembentukan identitas
sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua
strategi hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah
identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas
atau lebih.
Orang-orang Tionghoa totok lebih
dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding
orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian
mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang
dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi
dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal
yang bisa disumbangkan pada masyarakat.
Namun identitas sosial positif yang
mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan
kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik.
Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview)
dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.
Dari lampiran verbatim wawancara,
dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam
memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan
mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna,
universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya.
Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang
diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas - identitas yang berbeda
bisa disatukan dengan harmonis.
=============================
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta