"Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima." (Digha Nikaya 25 : Patika Vagga ; Udumbarika - Sīhanāda Sutta)



14 Oktober 2012

Happy Momen Happy in Dhamma.
Maha Anumodana kami sampaikan kepada semua pihak yg telah mendukung kami "Dayaka Sabha , PMM & SMB ITBC", Pengumpulan Dana dari acara Pattidana 15 Agustus 2012 di ITBC - Cemara Asri, hari ini telah kami salurkan kepada warga kurang mampu di daerah PANTAI LABU sebanyak 170 KEPALA KELUARGA. Pembagian sembako Minggu ini merupakan Gelombang yg Pertama, Pembagian & gelombang berikutnnya akan kami bagikan Minggu depan dilokasi lain.
Sungguh Indah jika kita saling berbagi kepada mereka yang membutuhkan.









22 Agustus 2012


”Seperti air mengalir dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah, demikian pula
hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh
kerabat dan keluarga) di alam manusia ini
dapat ikut dinikmati oleh para arwah (peta).
Seperti air dari sungai besar mengalir mengisi
lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini
dapat ikut dinikmati oleh para peta”
(Tirokudda Sutta, Khuddakapatha).

Latar Belakang
Sang Buddha berkata, hadiah terbesar yang dapat dipersembahkan Seseorang kepada leluhurnya yang telah meninggal adalah melakukan “Tindakan Jasa” dan melimpahkan jasa yang telah diperoleh ini. Pelimpahan jasa atau dalam bahasa Pali sering disebut dengan Patti dana merupakan hal yang tidak asing lagi dilakukan di kalangan masyarakat Buddhis. Tradisi penyaluran jasa sering disalah mengerti oleh sebagian orang sebagai suatu ajaran yang bertentangan dengan alasan kamma yang merumuskan bahwa semua makhluk memiliki dan mewarisi perbuatannya masing-masing. Dalam kenyataan yang sebenarnya, penyaluran jasa ti daklah menyimpang dari Hukum Kamma. Sebab, penyaluran jasa bukanlah seperti halnya ‘mentranfer’ sejumlah uang simpanan di bank kedalam rekening orang lain, yang berarti berkurangnya jumlah uang dalam rekening sendiri dan sebaliknya bertambahnya rekening orang lain. Penyaluran jasa semata-mata merupakan suatu cara untuk ‘membuka peluang’ bagi orang lain agar berbuat kebajikan sendiri dengan merasa ikut berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh orang yang menyalurkan jasa kepada dirinya. Kalau ti dak tahu-menahu tentang adanya jasa kebajikan yang disalurkan oleh orang lain kepada dirinya atau ti dak ikut berbahagia atas semua itu, suatu makhluk ti dak akan memperoleh bagian apa pun. Pada pihak lain, seseorang yang menyalurkan jasa kebajikan berarti melipatkan-gandakan jasa kebajikannya sendiri, entah orang lain yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya ataupun ti dak. Mengapa suatu jasa kebajikan dapat berlipat-ganda dengan disalurkan kepada orang lain? Alasannya ialah bahwa selain telah berbuat jasa kebajikan itu sendiri, seseorang berarti melakukan suatu kebajikan lain lagi, yaitu: berniat atau berkehendak agar makhluk lain juga berbuat kebajikan. Penyaluran jasa kebajikan dapatlah diibaratkan seperti penyulutan api ke lenteralentera lain yang bukanlah menyuramkan melainkan justru memperterang cahaya itu sendiri. Pelimpahan jasa bagi orang meninggal didasarkan pada kepercayaan bahwa pada kemati an seseorang perbuatan baik atau perbuatan buruk yang dilakukannya menentukan di alam mana ia akan terlahir kembali. Makhluk yang terlahir di alam yang lebih rendah ti dak dapat menimbulkan jasa kebajikan baru dan mereka hidup dengan jasa yang diperoleh dari dunia ini. Keti ka orang yang meninggal mengetahui bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan ia menjadi gembira, dan kebahagiaan ini membebaskannya dari penderitaan.

Pengertian pelimpahan jasa
Asal-usul upacara pelimpahan jasa (Patti dana), terdapat dalamTirokudda-Sutta, Khuddaka Nikaya, Khudaka Patha VII, yang menjelaskan tentang bentuk dan manfaat perbuatan bajik dalam penyaluran jasa kepada makhluk lain yang ti dak nampak,yang mengalami penderitaan.
Pelimpahan jasa merupakan wujud bakti terhadap keluarga yang telah meninggal dunia dengan cara menyalurkan jasa kebajikan. dalam kamus bahasa Pali arti Patti dana adalah berdana dengan cara pelimpahan jasa. Patti dana juga diarti kan sebagai memberikan inspirasi kebajikan/ kebahagiaan bagi makhluk lain. Istilan patti dana jarang ditemukan di dalam Tripitaka, meskipun merupakan kebiasaaan yang merakyat disemua Negara Buddhis. Sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilimpahkan. Setelah melakukan jasa-jasa/perbuatan baik, maka seseorang (sanak keluarga) biasanya menyatakan bahwa perbuatan baik ini dilakukan atas nama keluarga/leluhur yang telah meninggal agar mereka turut berbahagia. Harapannya adalah mereka mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh pikiran ikut berbahagia dalam batin mereka sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Dengan munculnya pikiran ikut berbahagia di dalam batin mereka, berarti mereka melakukan perbuatan baik sendiri, dengan perbuatan baik inilah akan membantu mereka untuk terlahir di alam yang lebih baik.

Asal usul pelimpahan jasa
Asal usul patti dana ini terdapat di Paramatthajotika (Ilustrasi Arti Terti nggi) yang merupakan kitab komentar Khuddakapatha. Di sana diceritakan, 92 kalpa yang lampau sekelompok orang mengorupsi apa yang seharusnya dipersembahkan kepada Sangha yang dipimpin oleh Buddha Phussa. Sebagai akibatnya mereka dilahirkan di alam-alam neraka selama 92 kalpa. Dikalpa yang sekarang, saat Buddha Gotama, mereka terlahir kembali di alam hantu kelaparan (peta) dan menunggu jasa kebajikan yang akan dilakukan oleh Raja Bimbisara dari Magadha yang dulunya adalah kerabatnya. Telah diprediksikan oleh Buddha Kassapa sebelumnya bahwa lewat Raja Bimbisaralah mereka akan mampu mendapatkan makanan, minuman dan sebagainya. Tujuh minggu setelah pencerahan, Sang Buddha Gotama pergi ke Benares, ibukota kerajaan Magadha. Raja Bimbisara setelah mendengar Dhamma dan menjadi pemenang arus, mendanakan makanan kepada Sang Buddha, namun ti dak membakti kannya untuk kerabatnya yang terlahir di alam menderita. Karena para kerabatnya merasa kecewa, mereka membuat suara-suara yang menyeramkan di malam hari. Ketika hal ini diceritakan kepada Sang Buddha, Raja Bimbisara baru mengetahui sebab dan bagaimana menyelesaikannya. Kemudian Raja mengundang Sang Buddha beserta Sangha untuk menerima dana air, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Raja kemudian membaktikan setiap persembahan itu untuk kerabatnya. Barulah saat itu mereka mendapat manfaat dari jasa kebajikan yang dibakti kan kepada mereka. Di akhir persembahan, Sang Buddha memberikan khotbah Tirokuda Sutta yang merupakan ringkasan ajaran akan peristiwa itu

 Cara melakukan Pelimpahan Jasa
Dengan berbagai cara, sanak keluarga yang diti nggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi almarhum/ah yang sangat dicintai. Di dalam Tirokudda Sutta, Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang diti nggal mati , yaitu dengan berdana makanan, minuman serta lain-lain kepada para Bhikkhu Sangha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dana ini kepada orang yang meninggal dunia (patti dana). Hanya kiriman berbentuk ‘halus’ semacam ini yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan oleh orang yang telah mati . Ibarat air yang mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, ibarat hulu sungai yang telah penuh niscaya membanjiri muara; demikian pula
penyaluran jasa yang dilimpahkan oleh sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia.
Nagasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Panha bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahirkan kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai hantu (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantasika), yang senanti asa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan yang senanti asa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong dalam hantu yang hidup berdasarkan dana dari orang lain (paradattupajivika peta). Dalam Tirokudda Sutta disebutkan bahwa hantu Paradattupajivika adalah hantu yang apabila ia ikut berbahagia terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh keluarganya (manusia), maka ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Karena dengan ia ikut berbahagia (mudita), maka ia telah melakukan perbuatan baik (kusala kamma), walaupun kamma ini kecil bobotnya namun sangat membantu hantu tersebut untuk terbebas dari kehidupannya sebagai hantu kelaparan agar terlahir kembali di alam yang lebih baik. Jadi peta ini tertolong oleh karmanya sendiri yang dibuatnya melalui pikiran dengan memunculkan mudita. Penyaluran jasa kepada orang yang telah meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila orang yang telah meninggal dunia terlahir di alam hantu kelaparan (Peta) yaitu Paradatt upajivika, yang bersangakutan juga sebaiknya mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga dapat berterima kasih atas kebajikan ini. Penyaluran jasa kebajikan dalam Milinda Panha sangat bermanfaat seperti yang diuraikan oleh Bhikkhu Nagasena
kepada Raja Milinda:

”Siapapun, O baginda, yang memberikan
persembahan, menjalankan moralitas
dan memperaktikkan Uposatha, dia akan
merasa gembira dan damai. Karena damai,
kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah.
Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi
dari segala arah setelah air mengalir keluar
dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika
seseorang mengirimkan kebajikan yang telah
dilakukannya kepada orang lain, bahkan
selama seratus tahunpun kebajikannya akan
semakin tumbuh. Itulah sebabnya kebajikan
begitu hebat ” (Mild: 74).

Pelimpahan jasa dilakukan oleh pelaku perbuatan baik dan mengarahkan pikirannya semoga almarhum mengetahui perbuatan baik yang dilakukan dan almarhum dapat menikmati ”jasa” dari perbuatan baik. ”Pelimpahan jasa” sendiri adalah ,perbuatan baik dan tidak ada yang hilang karena pelimpahan ini, tapi malah menambah jasa baik bagi pelakunya. Ketika melimpahkan jasa kepada almarhum, umat Buddha biasanya mengucapkan rumusan kata-kata pendek dalam bahasa Pali:
Idam vo nati nam hotu sukhita hontu natayo”, ”
semoga jasajasa ini melimpah kepada sanak keluarga, semoga mereka berbahagia.”. Di Negara-negara Buddhis, setelah pemberian dana kepada Sangha, anggota-anggota Sangha dengan serentak mengulangi pelimpahan jasa kepada almarhum sebagai berikut:
”Seperti air mengalir dari tempat yang ti nggi ke tempat yang rendah, demikian pula hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh kerabat dan keluarga) di alam manusia ini dapat ikut dinikmati oleh para hantu kelaparan (peta). Seperti air dari sungai besar mengalir mengisi lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut dinikmati oleh para hantu tersebut”.
Proses pelimpahan jasa ini dapat diumpamakan dengan seorang anak yang menuntut ilmu di kota lain memberitakan  kabar kelulusannya kepada orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira ini, ayah dan ibunya tentunya akan
merasakan kebahagiaan. Padahal apabila direnungkan, si anak yang lulus tetapi mengapa orangtuanya juga merasakan kebahagiaan? Inilah yang disebut pikiran ikut berbahagia (mudita citta) atau ikut bergembira atas kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Mudita citta adalah termasuk melakukan salah satu karma baik lewat pikiran. Oleh karena itu, kondisi demikian inilah yang dimunculkan oleh seorang umat Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan yang dilakukannya.

kepada sanak keluarganya yang sudah meninggal. Metode untuk pelimpahan jasa cukup sederhana. Pertamatama dilakukan suatu perbuatan baik. Pelaku perbutan baik hanya perlu berharap agar kebaikan yang telah diperolehnya terkumpul pada seseorang secara khusus. Harapan ini dapat sepenuhnya batiniah atau dapat disertai dengan ungkapan kata-kata. (Dhammananda, 2005: 447).

Dengan demikian jelas bahwa pelimpahan jasa dapat dilakukan di mana saja tanpa harus melakukan ritual-ritual tertentu ataupun terkait waktu dan tempat, yang terpenting sebelum melakukan pelimpahan jasa harus ada perbuatan baik yang dilakukan dan setelah itu pelaku mengarahkan pikirannya kepada orang yang telah meninggal tersebut dan mengajak agar almarhum ikut berbahagia atas perbuatan baik yang telah dilakukan. Menurut Sang Buddha, dalam semua tindakan pikiranlah yang benar-benar berarti , dan pelimpahan jasa pada hakikatnya adalah tindakan pikiran. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan pelimpahan jasa adalah Kedekatan hubungan dengan yang meninggal. Karena itu, proses patti dana sebaiknya mengikutsertakan orang orang yang memiliki kedekatan hubungan dan emosi dengan mereka yang meninggal, karena proses ajakan bergembira makan makin kuat dibandingkan dengan yang tidak dikenal sama sekali. Bagaimana jika orang yang ikut melakukan pelimpahan jasa tidak memiliki kedekatan emosi/ tidak mengenal orang yang di-patti dana-kan? Tindakan pelimpahan jasa itu sendiri adalah merupakan suatu perbuatan baik, walaupun orang yang ikut dalam pelimpahan jasa tidak mengenal almarhum, namun sebenarnya orang yang bersangkutan telah ikut melakukan sebuah perbuatan baik sehingga meningkatkan kebaikan yang telah diperoleh pelaku kebajikan tetap akan menikmati hasilnya. Jadi, lakukanlah kebajikan sebanyak mungkin.

Kesimpulan
Pelimpahan jasa (pattidana) merupakan ungkapan rasa bakti kepada para leluhur yang telah meninggal dunia. Peimpahan jasa dilakukan dengan harapan agar orang yang telah meninggal mengetahui perbuatan baik yang dilakukan dan kemudian ikut berbahagia (mudita citta) atas perbuatan baik yang dilakukan sehingga dapat terlahir di alam-alam bahagia. Sebelum seseorang melakukan pelimpahan jasa, seseorang harus melakukan ti ndakan/perbuatan baik terlebih dahulu. Makhluk yang dapat menerima penyaluran jasa ialah makhluk Peta yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa atau disebut juga sebagai Paradatt upajivika Peta. Dengan melakukan pelimpahan jasa maka orang yang melakukan pelimpahan jasa tersebut
sebenarnya telah melakukan sebuah perbuatan baik yang dapat meningkatkan kebaikan yang telah diperoleh, dengan demikian pelaku pelimpahan jasa ti dak akan kehabisan perbuatan baik yang telah diperbuatnya, malah akan menambah kebajikannya, oleh karenanya marilah kita melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya karena perbuatan baik adalah merupakan simpanan harta sejati .



Daftar Pustaka
Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta:
Yayasan Penerbit Karaniya & Ehipasiko Foundati on.
Wowor, cornelis. 2003. Buku pelajaran Agama Buddha, Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: CV. Felita Nursatama lestari.
Khuddakapatha, jilid 3. 2006. Terjemahan: Lanny Anggawati &
Wena Cinti awati . Wisma Sambodhi,Klaten.
The Debate Of King Milinda (Milinda Panha). 2002. Terjemahan:
Lanny Anggawati & Wena Cinti awati . Wisma Sambodhi,
Klaten.
Widya.K , Dharma. 2005. Kompilasi Isti lah Buddhis. Jakarta:
Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Majalah Dharma Prabha, edisi 46. 2005. ”Pelimpahan Jasa dan
Ulambana”.
Limiadi, Rudi. ”Patti dana”. 2007. Milist Vidyasena.

20 Agustus 2012


Hari Kathina (Sangha Dana) dalam Buddhisme sangat erat hubungannya dengan Sangha (Persaudaraan para Bhikkhu), sedang Sangha sangat erat hubungannya dengan Pelestarian Dhamma. Dengan begitu jelaslah sudah bahwa esensi peringatan Kathina adalah berkaitan erat dengan pelestarian Dhamma.
Hari Kathina menandakan berakhirnya masa Vassa (Musim Penghujan) yang merupakan salah satu kewajiban yang harus dijalankan oleh para Bhikkhu selama tiga bulan setiap tahunnya. Vassa adalah masa berdiam diri bagi para anggota Sangha yang berlangsung di musim penghujan. Selama musim penghujan para bhikkhu tidak melakukan perjalanan penyebaran Dhamma, tetapi berdiam bersama di satu tempat hingga musim hujan itu berakhir. Pelaksanaan Vassa ini ditetapkan semenjak zaman Sang Buddha pada sekitar 2600 tahun yang lalu.
 Masa Vassa selain memberi waktu pada para bhikkhu untuk melatih diri setelah sepanjang tahun sibuk melayani umat, juga merupakan salah satu perwujudan cinta kasih universal (metta karuna) pada semua mahkhluk hidup. Pada musim penghujan banyak binatang kecil melata yang berdiam dalam tanah sepanjang musim panas/kemarau akan keluar dari tanah. Di zaman itu para anggota Sangha melakukan penyebaran Dhamma dengan berjalan kaki sehingga sangat besar kemungkinannya para binatang tanah yang kecil dan lemah itu akan mati terinjak oleh para bhikkhu yang melakukan perjalanan penyebaran Dharma, walau secara tidak disengaja.
Inilah salah satu wujud cinta kasih universal kepada semua makhluk hidup, bahkan kepada para binatang kecil, yang diteladankan oleh Buddha dan dilestarikan oleh keluarga besar Sangha. Selain sebagai penerus pelita Dhamma dan penyebar metta karuna, Sangha juga melambangkan keberadaan Sila di dunia Saha ini. Saha berarti tahan menderita, tetapi tahan menderita ini bukan dalam pengertian positif, melainkan karena adanya pandangan salah yang menganggap bentuk-bentuk berkondisi semu yang tidak kekal sebagai kebahagiaan yang sejati. Yang lebih parah lagi, para makhluk yang diliputi kebodohan batini ini mengejar kebahagiaan semu itu di atas penderitaan makhluk yang lain.
Oleh sebab itu, agar supaya dapat benar-benar dari terbebas kekeliruan pandangan salah ini, para siswa Buddha harus mengembangkan kebijaksanaan, yang mana kebijaksanaan ini berdiri di atas dasar pondasi Sila yang kokoh. Ini juga berarti, Sila yang kokoh adalah dasar dari Buddha Dhamma. Buddha Dhamma dalam pengembangannya boleh termanifestasi dalam berbagai bentuk aliran atau tradisi, tetapi semua itu tetap mengacu pada Sila.
Selama di dunia ini ada siswa Buddha yang tekun dan gigih dalam menjalankan Sila, selama itu pula Buddha Dhamma tetap akan lestari di dunia ini. Sedang selama 2600 tahun ini, Sangha adalah perlambang Sila yang kokoh dan menyeluruh. Dengan lestarinya para anggota Sangha yang meneruskan tradisi Sila yang benar, maka lestari pulalah Buddha Dharma yang indah dan mulia.

Perayaan Kathina adalah mengingatkan kita untuk mendukung kelestarian Sangha. Dengan berakhirnya masa Vassa maka tibalah saatnya bagi para umat perumah tangga untuk menunjukkan metta karuna kepada semua makhluk dengan memberikan dukungan sepenuhnya kepada Sangha dalam bentuk dana jubah, makanan, obat-obatan serta hal-hal lain yang berguna untuk mendukung kebutuhan dasar pelestarian Sangha, yang pada akhirnya juga menunjang pelestarian Dhamma. Jelaslah kini hubungan antara Kathina dengan pelestarian Dhamma.

Tetapi ada satu hal yang harus dijelaskan mengenai arti tersirat dalam pemahaman pelestarian Dhamma. Sangha dibentuk demi tercapainya kebahagiaan semua makhluk yang mana kebahagiaan mutlak bagi para makhluk adalah pemahaman dan penerapan akan Buddha Dhamma. Jadi, dalam memberikan dukungan bagi Sangha, janganlah lupa bahwa esensi Kathina adalah pemahaman dan penerapan ajaran mulia oleh setiap siswa Buddha, yang mana salah satunya adalah menjalankan Sila.
Tidak dipungkiri bahwa tidak semua siswa Buddha menerima Sila secara resmi dari anggota Sangha, tetapi meskipun demikian Sila tetap terpancang di lubuk hati dan terpancar dalam setiap tindak tanduk kita semua.
Maka dari itu dengan ini kami segenap keluarga besar Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC) Cemara Asri, mengundang dan mengajak saudara – saudari sedhamma untuk bersama mengikuti acara Kathina Dana/ Sangha Dana kepada para Bhikkhu Sangha, yang akan kami selenggarakan pada : SABTU, 03 NOVEMBER 2012, Pukul 19.00 Wib – Selesai, di Hall Meditasi ITBC, Jl.Boulevard Utara No.1 – Cemara Asri.  Untuk informasi Dana kepada Sangha dapat menghubungi kami.
Happy Moment Happy in Dhamma…
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata



03 Juli 2012

"Moralitas adalah bagian terpenting dalam hidup seseorang, karena moralitas merupakan bentuk dari cerminan diri seseorang, untuk itu melatih dan membiasakan moralitas yang baik adalah cara yang terbaik diantara yang paling baik”

Program latih diri Pabbajja Samanera & Atthasilani Anak - anak, diselenggarakan oleh Sangha Theravada Sangha Agung Indonesia yang dimulai pada tanggal 16 Juni 2012 yang dibuka oleh Y.M Bhikkhu Jinadhammo Mahathera (Sebagai Upajjaya) dan berakhir pada tanggal 01 Juli 2012 akhirnya dapat terselenggara dengan sukses. Pelatihan diri Pabbajja Samanera & Atthasilani 2012 diikuti sebanyak 75 peserta dan ini merupakan suatu hasil yang sangat mengejutkan karena berdasarkan catatan sebelumnya di Medan belum pernah terselenggara Kegiatan Pabbajja Samanera & Atthasilani Anak – Anak, boleh dibilang ini adalah yang pertama kalinya. Kegiatan ini diselanggarakan di Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC) – Cemara Asri, Medan.
Dalam kata sambutan Y.M Bhikkhu Aggacitto selaku penanggung jawab program latih diri Pabbajja Samanera, mengatakan; "Pelatihan ini dilakukan tidak hanya untuk mengenalkan Ajaran Buddha kepada para peserta saja, melainkan pelatihan ini juga ditujukan agar para peserta dapat mempunyai etika, moralitas serta memiliki rasa Bakti dan hormat kepada orang tua mereka, selain dari pada itu kegiatan ini juga bertujuan agar momok belajar dan melatih diri menjadi Samanera & Atthasilani/ Anagarini tidak seburuk yang dipersepsikan dikalangan masyarakat Buddhis. Semoga semua bimbingan dan nasehat para Bhikkhu Sangha yang sudah diberikan selama dua minggu dapat memberikan bekal dan kontribusi yang baik didalam menjalani aktifitas sehari - hari, semoga mereka tumbuh berkembang sesuai dengan Buddha Dhamma, Kemudian Y.M Bhante Aggacitto menambahkan dipenghujung sambutannya bahwa Program Pabbajja Samanera juga diselenggarakan di Vihara Kassapa – Langkat, yang diikuti sebanyak 15 peserta (khusus dewasa)”
Semoga kegiatan - kegiatan positif ini dapat memberikan suatu bentuk pelayanan kepada umat Buddha agar lebih lagi memahami kembali Buddha Dhamma yang baik. Kepada seluruh pendukung/ sponsor kegiatan Pelatihan Diri Pabbajja Samanera & Atthasilani 2012, kami ucapkan Maha Anumodana. Happy Moment Happy in Dhamma…………..

13 April 2012


Namo Buddhaya.....
Vesakha Puja (Waisak) merupakan salah satu hari besar dalam Agama Buddha, dan sudah menjadi rutinitas bagi setiap umat Buddha setiap tahunnya selalu memeriahkannya, banyak berbagai acara selalu digelar dalam hari tersebut, setiap Cetiya ataupun Vihara selalu ramai dan dipenuhi oleh Umat Buddha  sebagai bentuk puja dan baktinya kepada Sang Buddha, selain dari pada itu moment tersebut juga dijadikan suatu renungan akan kebesaran Seorang Pangeran yang telah mengorbankan diri untuk mencari kesempurnaan demi kebahagiaan semua makhluk. untuk itu Kami dari keluarga Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC) - Cemara Asri, Jl. Boulevard Utara No. 1 akan menyelenggarakan berbagai kegiatan pada Hari Minggu, tanggal 06 Mei 2012, dimulai dari 09.00 Wib - 22.30 Wib.


Persaudaraan Muda - Mudi Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC),
Komplek Perumahan Cemara Asri - Jl. Boulevard Utara No.1 - Medan,
Memberi kesempatan kepada Ibu/ bapak yang mempunyai putra/ putri untuk mengikut sertakan anaknya mengikuti Perlombaan yang diselenggarakan, dalam rangka memperingati Vesakha Puja 2556 BE/ 2012.  Menangkan hadiah menarik dari Panitia : Piagam, Tropi, Uang Tunai dan bingkisan menarik lainnya.




Happy Moment Happy in Dhamma.
Dayaka Sabha Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC),
Komplek Perumahan Cemara Asri - Jl. Boulevard Utara No.1 - Medan,

Mengundang Ibu/ Bapak, Saudara - Saudari sedhamma untuk turut serta hadir dalam rangka peringatan memperingati Vesakha Puja 2556 BE/ 2012.
Mari kita bersama - sama memeriahkan peringatan Vesakha Puja Tahun ini. jangan lupa datang ya...... 



19 Februari 2012


SEJARAH etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejarah represi dan kekerasan. Sejarah mencatat, di Batavia pada 1740, terjadi pembantaian massal orang-orang Tionghoa  oleh VOC yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa karena dicurigai sebagai pembawa sial yang mengakibatkan pasukan Diponegoro kalah oleh Belanda. 
Lalu pembunuhan massal orang-orang Tionghoa oleh pasukan republik (1946-1948), peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat, pembunuhan dan pengejaran orang-orang Tionghoa pada tragedi 1965 karena dituduh sebagai agen pemerintah komunis RRT, dan terakhir peristiwa berdarah Mei 1998 di Jakarta. 
 
Kesemuanya adalah cuatan sejarah yang memperlihatkan betapa etnis Tionghoa sekadar menempati garis tepi dalam sosio-kognitif masyakat pribumi Indonesia. Sepertinya kita semua lupa bahwa banyak pejuang Tionghoa Indonesia telah berjerih payah dan berperan penting terhadap kemajuan masyarakat kita. Pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu, sebut saja misalnya Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) yang ikut melawan penjajah Belanda, bahkan yang pertama kali menjadikan tahu Sumedang sebagai komoditas kuliner berharga dan menjadi salah satu aset ekonomi rakyat kota Sumedang, adalah seorang Tionghoa - Indonesia.    

Titik kulminasi dari ketimpangan ini adalah saat Orde Baru mempraktikan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Tionghoa. Pupuslah pula impian Bung Karno untuk menciptakan indigeneus nation (negara suku) yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia, berdampingan dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya, sehigga orang-orang Cina tidak perlu melakukan asilimasi untuk menjadi warga Indonesia (Susetyo,2002).

Kini, meskipun masa Orde Baru telah usai, praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa masih saja sering terjadi sehingga dengan demikian ini adalah masalah sosial kita yang tetap aktual untuk dibahas. Diakui atau tidak, meskipun saat ini terdapat berbagai ragam interaksi sosial antara kaum Tionghoa - Indonesia dengan kaum pribumi, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih dianggap sebagai orang asing yang belum dapat sepenuhnya melakukan pembauran dengan kelompok mayoritas pribumi di Indonesia. Mereka bagaikan air dengan minyak.

Penelitian sosial yang dilakukan oleh Afif dalam buku ini berusaha melihat lebih dalam dan lebih dekat persoalan identitas sosial kaum Tionghoa muslim Indonesia. Dengan pendekatan ideografis, yakni menggunakan analisis terfokus pada individu-individu Tionghoa muslim sebagai unit analisisnya, Afif berhasil menggali temuan-temuan yang cukup berharga, terutama tentang bagaimana pergulatan masing-masing individu itu dalam membentuk identitas sosial positif di tengah masyarakat yang langsung - tidak langsung mengalienasikannya. 

Totok dan Peranakan
Subjek-subjek Tionghoa dalam penelitian ini memiliki latar profesi dan peran sosial yang berbeda-beda; dari pengusaha, seniman, dan sebagainya. Namun distingsi internal yang paling mendasar di kalangan orang Tionghoa-muslim ini adalah totok dan peranakan. Dua hal ini akan membedakan pola dan corak hubungan sosial para subjek Tionghoa muslim itu dengan kalangan Tionghoa-Indonesia lain, dan hubungan mereka dengan kalangan mayoritas pribumi.

Identitas sosial positif adalah suatu tata-ekspresi diri terhadap yang-lain. Identitas sosial adalah bagaimana menghadirkan diri secara baik ke dalam persepsi yang-lain. Tata-ekspresi diri yang positif akan menghasilkan penilaian dan afirmasi yang baik pula dari yang-lain. Dengan demikian, identitas sosial adalah jalan menuju kerekatan sosial dalam masyarakat.
Ada dua strategi dalam pembentukan identitas sosial positif, pertama adalah strategi kategorisasi diri, dan kedua strategi  hibridasi. Yang pertama adalah peleburan. Yang kedua adalah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi personal dengan satu komunitas atau lebih.

Orang-orang Tionghoa totok lebih dekat pada kebudayaan asli mereka (baca: kebudayaan Tionghoa) dibanding orang-orang peranakan. Dan ini memiliki korelasi dengan bagaimana kemudian mereka mempertahankan identitas sosial positif yang berhasil didapat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan modal wawasan kultural dan keunikan diri yang dimilikinya, para Tionghoa totok muslim ini cenderung melakukan optimalisasi dan eksplorasi keunikan diri yang dimiliki untuk kemudian menjadi suatu hal yang bisa disumbangkan pada masyarakat.

Namun identitas sosial positif yang mereka dapatkan sering kali terganjal oleh suatu stigma yang berkenaan dengan kemusliman. Mereka yang kerap kali dicap sebagai sesuatu yang oportunistik. Untuk menepis mitos ini, Afif melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan para subjek berkenaan dengan motivasi mereka menjadi muslim.
Dari lampiran verbatim wawancara, dapat kita lihat dan rasakan bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dalam memeluk agama Islam. Dulu, Junus Jahja pun pernah menepis stigma ini dengan mengatakan bahwa ia memang mencintai Islam sebagai ajaran yang sempurna, universal dan memiliki nilai keadilan dalam ajaran tata-sosialnya. Universalisme Islam selaras dengan suara penuh harapan para subjek yang diangkat dalam buku ini, yakni “kami percaya identitas - identitas yang berbeda bisa disatukan dengan harmonis.
=============================
Judul: Menjadi Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Parikesit Institute Press, Yogyakarta



Bagan Batu, Riau - Dalam rangka memperingati salah satu hari besar dalam Agama Buddha yaitu Hari Magha Puja 2555 BE/ 2012, diadakan sebuah kegiatan Pindapata. Kegiatan tersebut diadakan oleh Dayaka Sabha Vihara Buddha Dharma yang di Prakarsai oleh Romo Pandita Ali, Ibu Lili (Ka.WBI), Nalia Aulia & Merlyna dan dihadiri oleh Y.M Bhikkhu Aggacitto.

Kegiatan Pindapata tersebut dilaksanakan pada hari Rabu (15/02) pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 09.00 WIB. Kegiatan yang merupakan “Pindapata Multi Etnis” tersebut dilaksanakan di kota yang identik terkenal dengan penghasil “Kelapa Sawit” yaitu kota Bagan Batu, Riau.

“Dalam acara Pindapata kali ini ada yang berbeda nuansanya, pasalnya yg mengikuti tidak hanya umat Buddha, melainkan dari umat agama lain seperti umat Islam & umat Kristen dan para simpatisan lainnya juga banyak yg ikut serta” Kegitan tersebut diikuti oleh para Siswa/i dari SD Ananda, Penjual Buah, Satpam dan Bpk. Rudi Samosir selaku Pimpinan Kapolsel Bagan Batu beserta anggotanya juga mengikuti kegiatan tersebut.

“Ini menunjukkan bahwa kesadaran, kebersamaan dan keharmonisan memang sangat membahagiakan jika bisa dilakukan. Terbukti dari warga Bagan Batu, mereka menghilangkan perbedaan baik secara Ras, Suku, golongan dan agama. Jika kita telusuri disana terdapat 12 suku yg berbeda, agama pun juga tidak sama. Ini merupakan satu contoh yang dapat dijadikan tauladan.”
Dalam kesempatan itu, hasil dari perolehan Pindapatta langsung dibagikan kepada keluarga - keluarga yang kurang mampu dan juga Anak – anak Panti Asuhan Al-Ikhlas yang merupakan Asuhan Bpk.Abdul Aries.
“Kami mengucapkan Maha Anumodana / terima kasih banyak atas partisipasi dan dukungan dalam mensukseskan acara PINDAPATA yang ke – II di Kota Bagan Batu. Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madiyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani”

Sumber : Y.M Bhikkhu Aggacitto